By Merwand News
Papua
di Indonesia indentik dengan kekerasan, namun tak pernah dipandang apa
penyebab "Konflik". Tak memanipulasi menjadi konflik perang antar suku,
tetapi yang sebenarnya adalah "Konflik Ciptaan" (devide et impera),
untuk menutupi akar masalah PAPUA - JAKARTA yaitu sejarah yang belum
tuntas. Salah satu yang harus dibincangkan adalah mengenai keputusan
PEPERA tahun 1969, yang dijawab Indonesia dengan invasi militer.
A. HASIL PEPERA 1969 DALAM DOKUMEN PBB ANNEX I, A/7723.
Dr. Fernando Ortiz Sanz, perwakilan PBB, yang
berada di Papua untuk mengawasi pelaksanaan penentuan pendapat rakyat
tahun 1969, dalam laporannya menyatakan penyesalannya karena pemerintah
Indonesia tidak melaksanakan isi Perjanjian New York Pasal XXII (22)
tentang hak-hak dan kebebasan orang-orang Papua. Laporan Ortiz Sanz
dalam Sidang Umum PBB bulan September 1969 sebagai berikut:
“Saya dengan menyesal harus menyatakan
keberatan-keberatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian
New York, yang berhubungan dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan
berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli”
(Dokumen PBB, Annex I, A/7723, paragraph 251, hal. 70).
Kutipan aslinya:
“I
regret to have to express my reservation regarding the implementation
of article XXII of the New York Agreement, relating to “the rights,
including the rights of free speech, freedom of movement and assembly,
of the inhabitants of the area”. In spite of my constant efforts, this
important provision was not fully implemented and the Administration
exercised at all times a tight political control over the population”
(UN doc. A/7723, annex I, paragraph 251, p.70).
Pemerintah Indonesia telah menentang PBB dengan
tidak melaksanakannya Perjanjian New York Pasal XXI (22). Penentangan
itu terbukti dengan Surat Keputusan resmi Presiden Republik Indonesia,
Ir. Sukarno bernomor: 8/Mei/1963 yang menyatakan:
“Melarang/menghalangi atas bangkitnya
cabang-cabang Partai Baru di Irian Barat. Di daerah Irian Barat dilarang
kegiatan politik dalam bentuk rapat umum, pertemuan umum,
demonstrasi-demonstrasi, percetakan, publikasi, pengumuman- pengumuman,
penyebaran, perdagangan atau artikel, pameran umum, gambaran-gambaran
atau foto-foto tanpa ijin pertama dari gubernur atau pejabat resmi yang
ditunjuk oleh Presiden” (SK, No. 8, Mei 1963).
Dr. Fernando Ortiz Sanz dalam laporannya kepada
Sidang Umum PBB menyatakan pula tentang kekecewaannya. Karena pemerintah
Indonesia tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian New
York Pasal XVI (16) di Papua Barat.
“Saya harus menyatakan pada awal laporan ini
bahwa, ketika saya tiba di Papua pada bulan Agustus 1968, saya
diperhadapkan dengan masalah tentang tidak dilaksanakan dengan
ketentuan-ketentuan Pasal XVI (16) Perjanjian New York. Walaupun, ahli
PBB yang harus berada di Papua pada saat peralihan tanggungjawab
administrasi sepenuhnya kepada Indonesia telah dikurangi, mereka tidak
pernah mengetahui secara baik keadaan-keadaan dalam melaksanakan
tugas-tugas mereka. Akibatnya, fungsi-fungsi dasar mereka untuk
menasihati, membatu dalam persiapan untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan tentang penentuan nasib sendiri tidak didukung
selama masa bulan Mei 1963 s/d 23 Agustus 1969 …” (paragraph 23, hal.
12).
Kutipan aslinya:
“I must state
at the outset of this report that, when I arrived in the territory in
August 1968, I was faced with the problem of non-compliance with the
provisions of article XVI of the Agreement. Though the United Nations
experts who were to have remained in the territory at the time of the
transfer of full administrative responsibility to Indonesia had been
designated, they had never, owing to well known circumstances, taken up
their duties. Consequently, their essential functions of advising
on and assisting in preparation for carrying out the provisions for
self-determinations had not been performed during the period May 1963 to
23 August 1969 …”(paragraph 23, p. 12).
Dr. Fernando Ortiz Sanz juga sangat menyesal,
karena orang-orang Indonesia tidak melaksanakan Perjanjian New Yok Pasal
XVIII (18) tentang sistem “satu orang, satu suara” sesuai dengan
praktek internasional. Tetapi, orang-orang Indonesia memakai sistem
lokal Indonesia, yaitu sistem “musyawarah”.
“… pelaksanaan pemilihan bebas telah dilaksanakan di Irian Barat sesuai dengan praktek Indonesia, …(paragraph 253, hal. 70).“… an act of free choice has taken place in West Irian accordance with Indonesia practice, … (paragraph 253, p. 70).
Sang Diplomat Bolivia ini juga menyatakan dalam
laporannya secara tegas dan jelas bahwa orang-orang Papua Barat dalam
pernyataan-pernyataannya menyatakan berkeinginan kuat untuk merdeka dan
tidak ingin dimasukkan ke dalam negara Indonesia.
“Pernyataan-pernyataan (petisi-petisi) tentang
pencaplokan Indonesia, peristiwa-peristiwa ketegangan di Manokwari,
Enarotali, dan Waghete, perjuangan-perjuangan rakyat bagian pedalaman
yang dikuasai oleh pemerintah Australia, dan keberadaan tahanan politik,
lebih daripada 300 orang yang dibebaskan atas permintaan saya,
menunjukkan bahwa tanpa ragu-ragu unsur-unsur penduduk Irian Barat
memegang teguh berkeinginan merdeka. Namun demikian, jawaban yang
diberikan oleh dewan musyawarah atas pertanyaan yang disampaikan kepada
mereka sepakat tinggal dengan Indonesia”
( paragraph 250, hal. 70).
Kutipan aslinya:
“The petitions
opposing annexation to Indonesia, the cases of unrest in Manokwari,
Enarotali, and Waghete, the flights of number of people to the part of
the island that is administrated by Australia, and the existence of
political detainees, more than 300 of the population of West Irian held
firm conviction in favour of independence. Nevertheless, the answer
given by the consultative assemblies to the questions put to them was a
unanimous consensus in favour of remaining with Indonesia” ( paragraph
250, hal. 70).
Ortiz Sanz juga melaporkan sikap orang-orang
Indonesia yang menolak nasihat-nasihatnya kepada orang-orang Indonesia
untuk melaksanakan Perjanjian New York Pasal XVI (16). Fernando
menyatakan kecewa karena pendekatannya tidak diberikan jawaban yang
menyenangkan.
“… Pada beberapa kesempatan, saya mendekati
pemerintah Indonesia yang berkuasa pada saat itu untuk tujuan
melaksanakan ketentuan-ketentuan pasal XVI (16), tetapi gagal mendapat
jawaban yang menyenangkan. Pada tanggal 7 Januari 1965, sebagaimana
diketahui, Indonesia menarik diri dari keanggotaan PBB, dan oleh karena
itu tidak memungkinkan untuk mengutus ahli PBB ke West New Guinea (Irian
Barat)” (paragraph 7, hal. 3).
Kutipan aslinya:
“… on several
occasion, I approached the Government which was in power in Indonesia at
the time for purpose of implementing the provisions of article XVI, but
failed to obtain a favourable reply. On 7 January 1965, as is well
known, Indonesia withdrew its co-operation with the United Nations and
it therefore became impossible to send the United Nations experts West
New Guinea (West Irian)” (paragraph 7, p. 3).
Mr. Fenando menggambarkan situasi yang sangat
berbahaya di Papua karena pemerintah Indonesia menarik diri dari
keanggotaan PBB dan karena itu tidak memungkinkan PBB mengutus tim PBB
ke Papua untuk mengatur dan mengawasi pelaksanaan penentuan nasib
sendiri di Papua tahun 1969. Fernando
melihat bahwa pada saat tim PBB tidak berada di Papua, pemerintah
Indonesia secara bebas mengejar, menangkap, menyiksa, membunuh dan
menghilangkan orang-orang Papua.
“Pelaksanaan
bagian kedua Perjanjian New York sangat berbahaya selama ketidakpastian
waktu tidak hanya dengan penarikan diri sementara dari PBB tetapi juga
dengan ketidakhadiran sebagaimana telah disebutkan dalam paragraph 14 di
atas, ahli PBB yang harus berada di Papua sesuai dengan Pasal XVI (16 )
Perjanjian New York” ( paragraph 23, hal. 12).
Kutipan aslinya:
“The
implementation of the second part of the Agreement was jeopardised
during the certain period of time not only by the temporary withdrawal
of Indonesia from the United Nations but also by the absence, as already
mentioned in paragraph 14 above, of the United Nations experts who have
to have remained in the territory in accordance with article XVI the
Agreement” (paragraph 23, p. 12).
Ortiz Sanz sangat menyesal atas sikap dan
tindakan pemerintah Indonesia, karena keinginan dan kesediaannya untuk
datang kepada Papua secepat-cepatnya sengaja ditunda secara resmi oleh
pemerintah Indonesia.
“Saya
memegang pekerjaan saya di Markas PBB di New York ditempatkannya kantor
sekretariat dan personil. Walaupun keinginan dan kesediaan saya untuk
berangkat ke Papua secepatnya sesudah jabatan saya, keberangkatan saya
ditunda sampai 7 Agustus 1978 atas permintaan resmi dari pemerintah
Indonesia” (paragraph 27, hal. 13).
Kutipan aslinya:
“I commenced my
work at United Nations Headquarters in New York, were the Secretariat
placed offices and personel at my disposal. Despite my willingness and
readiness to travel to territory immediately after my appointment, my
departure was postponed until 7 August 1968 at the official request of
the Indonesian Government” ( paragraph 27, p. 13).
Sebagaimana dikutip di bawah ini, Ortiz Sanz
menyatakan reaksi yang tidak resmi dari pemerintah Indonesia tentang
usulannya untuk metode pelaksanaan penentuan pendapat di Papua Barat.
“Saya
menerima reaksi tidak resmi atas nasihat saya berkaitan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk dewan-dewan perwakilan dan
metode yang memungkinkan untuk pelaksanaan pemilihan bebas sampai suatu
pertemuan diadakan menteri luar negeri tanggal 10 Februari 1969, ketika
pemerintah Indonesia menginformasikan kepada saya bahwa proposal metode
diajukan untuk dewan-dewan perwakilan dalam konsultasi-konsultasi untuk
diadakan selama bulan Maret 1969” (paragraph 83, hal. 29).
Kutipan aslinya:
“I received no
official reactions to my suggestions concerning the questions to
submitted to the representative councils and possible method for the act
of free choice until a meeting held at the Ministry of Foreign Affairs
on 10 February 1968, when the Government informed me of the method it
proposed to submit to the representative councils in consultations to be
held during the month of March 1969” (paragraph 83, p.29).
Fernando juga mengatakan sikap pemerintah
Indonesia yang menipu perwakilan PBB tentang metode pelaksanaan
penentuan pendapat rakyat Papua. Ortiz Sanz mengatakan, pemerintah
Indonesia pikirannya tidak tetap tentang metode PEPERA.
“Ini
berarti bahwa pemerintah Indonesia masih bermaksud melengkapi metode
musyawarah untuk keputusan melalui perwakilan rakyat tetapi berlawanan
dengan ide yang disampaikan pada 1 Oktober (lihat paragraph 8), itu
direncanakan untuk melaksanakan pemilihan bebas tidak melalui satu badan
200 perwakilan, tetapi sebagai akibatnya melalui delapan wakil
(perawakilan) terdiri dari 1.025 perwakilan” (paragraph 85, hal. 30).
Kupitan aslinya:
“This meant
that the Government still intended to apply the consultation
(musyawarah) method of decision through representative of the people
but, in contradiction to the ideas expressed on 1 October (see paragraph
81), it planned to carry out the act of free choice not through no body
of 200 representatives but consecutively through eight consultative
assemblies, comprising some 1.025 representatives” (paragraph 85, p.
30).
Perwakilan PBB ini juga, melaporkan bahwa dia
menerima keinginan dan pandangan orang Papua disampaikan dengan berbagai
bentuk kepada Ortiz Sanz sebagai perwakilan PBB. “Pandangan dan
keinginan rakyat dinyatakan melalui berbagai saluran.
Pernyataan-pernyataan dan komunikasi lain disampaikan kepada saya secara
tertulis atau lisan, demostarasi-demostrasi damai, dan beberapa
terwujud pada ketidakpuasan rakyat, termasuk peristiwa-peristiwa
sepanjang perbatasan antara Irian Barat dan wilayah Papua dan New Guinea
yang dikuasai oleh Australia” (Paragraph 138, hal. 45).
Kutipan aslinya:
“The views
and wishes of the people were gragually expressed through various
channels: petitions and other communications submitted to me in writing
or orally, peaceful demonstrations, and in some cases manifestation of
public unrest, including incidents along the border between West Irian
and Territory of Papua and New Guinea administrated by Australia”
(paragraph 138, p. 45).
Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang
Umum PBB bahwa selama dia berada di Papua telah menerima 179 pernyataan
dari orang Papua. Simaklah kutipan di bawah ini: “Selama waktu misi
saya berada di Papua, saya menerima sejumlah 179 pernyataan dari orang
Irian Barat, politisi, sipil, dan kelompok mahasiswa, bahkan dari orang
Irian Barat yang berada di luar negeri” (Paragrap 140, 46).
Kutipan aslinya:
“During
the time my mission was in territory, I received a total of 179
petitions from West Irianese persons and political, civil, and student
groups, as well as from Irianes residing abroad” (paragraph 140, p. 46).
Berkaitan dengan pernyataan-pernyataan orang Papua ini,
“dalam arsif PBB di New York, secara rinci 156 dari 179 pernyataan yang
masih bertahan terus, sesuai dengan semua yang diterima sampai 30 April
1969. Dari pernyataan-pernyaan ini, 95 pernyataan anti-Indonesia, 59
pernyataan pro-Indonesia, dan 2 pernyataan adalah neutral” (Lihat
Dok PBB di New York: Six lists of summaries of political communications
from unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969 UN:
Series 100, Box 1, File 5).
Ortiz Sanz dalam laporannya dengan tegas mengatakan bahwa mayoritas orang Papua berkeinginan untuk mendukung pikiran mendirikan negara Papua Merdeka. Rakyat Papua kritik orang Indonesia dan menuntut supaya penentuan pendapat dilaksanakan dengan praktek internasional, yaitu satu orang satu suara (one man, one vote).
“Mayoritas
menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung
pikiran mendirikan negara Papua Merdeka. Rakyat Papua sering menyatakan
kritik tentang administrasi Indonesia, mengadu kurangnya jaminan atas
hak-hak dasar dan kemerdekaan, termasuk kebebasan untuk mengatur partai
politik oposisi, permintaan pembebasan tahanan politik dan partisipasi
dalam pelaksanaan pemilihan bebas seluruh orang Irian Barat, termasuk
yang tinggal di luar negeri, pengaduan resolusi-resolusi dan
pernyataan-pernyataan keinginan Indonesia sebagai kegagalan dan ditanda
tangani oleh rakyat di bawa tekanan dari pemerintah resmi Indonesia;
meminta untuk persyaratan sistem “satu orang satu suara= one man one
vote” dalam pelaksanaan pemilihan bebas dan dipilih oleh dewan
perwakilan rakyat, dan dinyatakan pandangan bahwa kelompok oposisi
(lawan) hendaknya diberikan perwakilan dalam dewan-dewan” ( paragrap
143, hal. 47).
Kutipan aslinya:
“… The majority
indicated the desire to sever ties with Indonesia and support the idea
of the establishment of a Free Papua State. The petitioners often
expressed criticism of the Indonesian administration; complained against
acts of repression by the Indonesian armed forces; denounced the lacf
of guarantees for basic rights and freedoms, including the freedom to
orginise opposition political parties; requested the release of
political prisoners and participation in the act of free choice of all
Irianese, including those residing abroad; denounced resolutions and
statements in favour of Indonesia as false and signed by people under
pressure from Indonesian officials; asked for the application of the
“one man, one vote” system in the act of free choice and in the election
by the people of the representatives to the councils, and expressed the
view that opposition groups should be given representation in the
councils” (paragraph 143, p. 47).
Fernando melaporkan pula dalam laporannya bahwa
orang-orang Papua berkeinginan melaksanakan penentuan pendapat rakyat
dengan bebas tanpa tekanan militer Indonesia. Simaklah kutipan di bawah
ini.
“Pemimpin-pemimpin
penentang meminta penarikan pasukan-pasukan Indonesia dari Paniai
dengan menjelaskan bahwa rakyat berkeinginan untuk melaksanakan hak
pemilihan bebas tanpa tekanan. Sebuah pesawat pemerintah membawa
dukungan 16 tentara, dan pada tanggal 30 April tembakan dimulai antara
pasukan-pasukan Indonesia dan penentang dibantu oleh pembelot dari
anggota tentara dan polisi” (paragrap 160, hal. 51).
Kutipan aslinya:
“The leaders of
the insurgents requested the withdrawal of Indonesian troops from
Paniai with the explanation that the people wanted to exercise the right
of free choice without pressure. A government plane brought
reinforcements of sixteen soldiers, and on 30 April shooting started
between the Indonesian troops and the insurgents aided by the armed
police deserters” (paragraph 160, p. 51).
Fernando melaporkan pula bahwa pelarian
orang-orang Papua ke Papua New Guinea adalah karena ketidakpuasan
terhadap pelaksanaan penentuan pendapat yang tidak demokratis, tidak
jujur dan penuh intimidasi dan teror oleh kekuatan militer Indonesia.
“Namun
demikian, keadaan yang sulit daerah lintas batas selama misi saya di
Irian Barat menunjukkan keputusan politik pasti tidak memuaskan bagian
dari beberapa orang penduduk asli” (paragrap 172, hal. 54).
Kutipan aslinya:
“Nevertheless,
the recurrence of border crossing during my mission in West Irian seems
to show a certain degree of political dissatisfaction on the part of
some of the inhabitants” (paragraph 172, p. 54).
Perwakilan PBB, Mr. Fernando mengetahui betul
bahwa hasil-hasil PEPERA akan dicapai tidak sesuai dengan keinginan
mayoritas orang Papua untuk merdeka. Tetapi, dia terus melaksanakan
misinya untuk mengawasi pelaksanaan PEPERA 1969 yang tidak demokratis
dan tidak jujur itu.
“Walupun
secara jujur hasil negatif dicapai pada saat itu, saya melanjutkan
usaha saya supaya Pasal XXII (22) Perjanjian New York patut dilaksanakan
pada pertemuan menteri luar negeri pada 24 Mei, saya berkata bahwa
masalah pelaksanaan penuh Pasal XXII (22) Perjanjian New York,
berhubungan dan hak-hak kebebasan dibicarakan pada saat itu, tidak ada
usaha nyata untuk diterima. Saya menyarankan bahwa pemerintah Indonesia
hendaknya mengijinkan lawan politik berkesempatan untuk menyatakan
pandangan mereka, sejak itu waktu yang tepat untuk diterima” (paragrap
180, hal. 56).
Kutipan aslinya:
“Notwithstanding
the fairly negative result achived up to that time, I continued my
effort to have article XXII properly implemented. At a meeting at the
Ministry of Foreign Affairs on 24 May, I said that
the problem of the full implementation of article XXII concerning
rights and freedoms had to be dealt with because, up to that time, no
concrete measures had been adopted.I suggested that the Indonesian
government should allow the opposition the opportunity to express its
views, since that was the moment to adopt courageous and generous
measures” (paragraph 180, p. 56).
B. HASIL PEPERA 1969 DITOLAK OLEH BEBERAPA NEGARA ANGGOTA PBB
Secara jujur perlu disampaikan kepada para pembaca bahwa pelaksanaan
penentuan pendapat rakyat di Papua 14 Juli s/d 2 Agustus 1969 di Papua
Barat sangat tidak demokratis, tidak jujur dan penuh intimidasi dan
tekanan-tekanan kekuatan militer Indonesia. Salah satu bukti, Surat
Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII
Tjenderawasih Nomor: TR-20/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan
Radio Gram MEN/PANGAD No. :TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal:
Penghadapi Referendum di IRBA tahun 1969 yang menyatakan: “Mempergiatkan
segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua
kekuatan material dan personil yang organic maupun yang B/P-kan baik
dari Angkatakan Darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada
pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969 Uharus dimenangkan, harus
dimenangkan.U Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan.
Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang
statis. Surat ini berlaku sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan.
Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pandam 17/PANG OPSADAR”.
Apa yang dikutip ini hanya salah satu bukti
tekanan-tekanan militer Indonesia dalam menghadapi rakyat di Papua
Barat. Karena itu, 15 negara anggota PBB menilai bahwa pelaksanaan
penentuan pendapat di Papua tidak demokratis dan melanggar hak-hak asasi
rakyat Papua. Kita patut memberikan anjungan jempol kepada 15 negara
anggota PBB tersebut. Perdebatan sengit pun tidak dapat dihindari dalam
Sidang Umum PBB 1969 di Markas Besar PBB, New York. Perlawanan itu
datang dari pemerintah Ghana dan Gabon. Simaklah kutipan tentang
perlawanan sengit Mr. Akwei (pemerintah Ghana) dan Mr. Davin (pemerintah
Gabon) sebagai berikut:
- Mr. Akwei ( Pemerintah Ghana)
Mr. Akwei menyatakan kritiknya dalam hal metode pelaksanaan penentuan pendapat rakyat Papua, bahwa: “…
Mr. Ortiz Sanz membuat dua proposal untuk bahan pertimbangan pemerintah
Indonesia: pertama, bahwa pelaksanaan pemilihan bebas didasarkan pada
pemilihan langsung di daerah kota pesisir pantai dimana daerah sudah
maju dalam pendidikan dan berpengalaman rakyat Irian Barat hendak
berpartisipasi untuk menyatakan kehendak mereka dengan bebas, dan kedua,
bahwa daerah pedalaman dimana tingkat pendidikan, komunikasi dan
pendidikan yang sulit, dipakai satu sistem “musyawarah bersama” untuk
prosedur pelaksanaan satu orang satu suara. Nasihat dari perwakilan
Sekretaris Umum dalam hal ini ditolak oleh pemerintah Indonesia” ( Lihat
: Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna 1812PthP: Sidang Umum PBB,
agenda pokok 98, 19 Nopember 1969).
Kutipan aslinya:
“Mr. Ortiz Sanz
made two proposals for the consideration of the Indonesian Government:
first, that act of free choice should be based on direct voting in the
cities in coastal areas where the general area of development, education
and experience of the people of West Irian would quality them to
express their options freely, and second, that in the hinderland, where
the level of development, communication and education would be
difficult, a system “of collective consultation” might be used to
complement the one man, one vote, procedure. The advice of the
Secretary-General’s
Representative on this issu was rejected by the
Indonesia Government” (see: United Nations Official Records: 1812PthP
Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 98, 19 November
1969).
Mr. Akwei juga memberi kritik dengan keras bahwa:
“Seluruh
laporan perwakilan Sekretaris Umum PBB memberi kesan bahwa Ortiz Sanz
tidak puas dengan metode musyawarah, yang diputuskan oleh pemerintah
Indonesia sebagai prosedur untuk dipakai penentuan pemilihan bebas, … (
lihat: Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna 1812Pth PSidang Umum PBB,
agenda pokok 98, 19 Nopember 1969, paragraf 18, halaman 2).
Kutipan aslinya:
“Throughout the
report of the Secretary-General’s Representative the impression is
clear that Mr. Ortiz Sanz was not satisfied with the method of
musyawarah, which has been decided upon by the Indonesian Government as
the procedure to be used to determine the act of free choice, …( see:
United Nations Official Records: 1812PthP Plenary Meeting of the UN
General Assembly, agenda item 98, 19 November 1969, paragraph 18, p. 2).
Sang Diplomat Ghana ini juga memberikan kritik
atas tidak dilaksanakannya praktek internasional dalam penentuan nasib
sendiri orang-orang Papua Barat. Kritiknya sebagai berikut:
“
… PBB mengakui pelaksanaan pemilihan bebas adalah benar-benar suatu
pelaksanaan penentuan nasib sendiri oleh rakyat Irian Barat atau
kata-kata Perjanjian New York” sesuai dengan praktek internasional”. Di
sini masalah lagi adalah laporan bahwa metode yang dipakai penentuan
kehendak rakyat tidak sesuai dengan praktek internasional” pelaksanaan
pemilihan bebas diadakan di Irian Barat sesuai dengan praktek Indonesia”
(A/7723 dan Corr. 1, annex I, paragraph 235, tetapi tidak sesuai dengan
praktek internasional” ( lihat: Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna
1812Pth PSidang Umum PBB, agenda pokok 98, 19 Nopember 1969, paragraf
20, halaman 3).
Kutipan aslinya:
“… the United
Nations to recognise the act of free choice as having been truly and act
of self-determination by the people of West Irian or, in the words of
the Agreement “ in accordance with international practice”. Here again
it is matter of record that the methode adopted to determine the peoples
will was not in accord with international practice. Hence the painful
but clear verdict of Ambassador Ortiz Sanz that” an act of free choice
has taken place in West Irian in accordance with Indonesia practice”
(A/7723 and Corr.1, Annex I, paragraph 253, but not in accordance with
internasional practice” (see: United Nations Official Records: 1812PthP
Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 98, 19 November
1969, paragraph 18, p. 2).
Mr. Akwei juga mengutip laporan Ortiz Sanz
tentang sikap Menteri Dalam Negeri Indonesia yang tidak terpuji yang
ditunjukkan dalam pelaksanaan pemilihan bebas di Papua Barat.
“Lebih
lanjut, yang dilaporkan oleh perwakilan Sekretaris Umum bahwa
bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah
fenomena asing dimana Menteri Dalam Negeri naik di mimbar dan
benar-benar kampanye. Saya mengutip dari laporan: “Dia, Menteri Dalam
Negeri Indonesia” dia meminta anggota-anggota dewan musyawarah untuk
menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu ideology,
Pancasila, satu bendera, satu pemerintah. Satu negara dari Sabang
sampai Merauke. Dia menambahkan, pemerintah Indonesia, berkeinginan dan
mampu melindungi untuk kesejahteraan rakyat Irian Barat; oleh karena
itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Republik Indonesia.
Dia menyatakan atas sidang untuk membuat Merauke suatu awal kemenangan
(A//7723 and Corr. 1, Annex I, paragraph 195)” ( lihat: Laporan resmi
PBB: Pertemuan Paripurna 1812Pth PSidang Umum PBB, agenda pokok 98, 19
Nopember 1969, paragraf 28, halaman 4).
Kutipan aslinya:
“ Futher, it is
reported by the representative of the Secretary-General that at the
actual event of deciding the act of free choice the strange phenomenon
wa regularly gone through whereby the Minister of Home Affairs took the
floor and virtually campaigned, as it were. I quote from the report:
“He”- the Minister of Home Affairs of Indonesia-
“asked the members of the assembly to determine their future with
courage and full responsibility bearing in mind that they had one
ideology, Pancha Shila, one flag, one Government, and one country
extending from Sabang to Merauke. It was the Indonesian Government, he
added, which was willing and able to care for the welfare of the people
of West Irian; therefore, there was no alternative but to remain within
the Republic of Indonesia. He called upon the assembly to make Merauke
the beginning of victory.” (A/7723 and Corr.1, annex I, paragraph 195.),
( see: United Nations Official Records: 1812PthP Plenary Meeting of the
UN General Assembly, agenda item 98, 19 November 1969, paragraph 28,
p.4).
2. Mr. Davin ( Pemerintah Gabon)
Delegasi
pemerintah Gabon dalam kritiknya dengan tegas mengatakan ketidakjujuran
dan penipuan pemerintah Indonesia terhadap orang Papua dalam
melakasnakan PEPERA di Papua Barat. Simaklah kutipan-kutipan di bawah
ini.
“Setelah
mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan kebinggugan
yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami menyatakan pendapat tentang
metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat.
Kami dibinggungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan
oleh Mr. Ortiz Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya”
( lihat: Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna1812Pth PSidang Umum
PBB, agenda pokok 106, 20 Nopember 1969, paragraf 11, halaman 2).
Kutipan aslinya:
“After studying
this report, the Gabonese delegation finds itself extremely perplexed.
It is very hard to us to pass judgement on the methods and procedures
that were used to consult the people of West Irian. We are greatly
disturbed by the reservations formulated by Mr. Ortiz Sanz in the final
remarks at the close of his report” (see: United Nations Official
Records: 1812PthP Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda
item 108, 20 November 1969, paragraph 11, p.2).
“Berkenaan dengan metode-metode dan
prosedur-prosedur ini, jika utusan saya berpikir perlunya untuk
menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti menarik perhatian
peserta sidang untuk memastikan aspek-aspek yang ada, untuk menyatakan
setidak-tidaknya luar biasa. Kami harus menyatakan kekejutan kami dan
permintaan penjelasan tentang sejumlah bukti-bukti yang disampaikan
dalam laporan perwakilan Sekretaris Umum. Contoh; kami dapat betanya
mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat oleh
pemerintah dan tidak dipilih oleh rakyat; mengapa pengamat PBB dapat
hadir dalam pemilihan hanya 20 persen wakil, beberapa dari mereka hanya
sebentar saja; Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh Gubernur;
dengan kata lain, oleh perwakilan pemerintah; mengapa hanya organisasi
pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon” ( lihat:
Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna 1812Pth PSidang Umum PBB, agenda
pokok 106, 20 Nopember 1969, paragraf 12, halaman 2).
Kutipan aslinya:
“As regards
these methods and procedures, if my delegation had thought it necessary
to speak on the substance of the question, it would certainly have drawn
the Assembly’s attention to certain aspect which are, to say the least,
unusual. We might have expressed our surprise and requested an
explanation concerning a number of fact brought out in the report of the
Representative of the Secretary-General. For example, we might asked
why the vast majority of the deputies were appointed by
the government and not elected by the people; why the United Nations
observers were able to be present at the election of only 20 per cent of
the deputies, some of whom, incidentally, were elected automatically
because they belonged to official representative bodies; why the
consultative assemblies were presided over by the Governor of the
district, in others, by the representative of governmental authority;
why only Government authorised organisations, and not opposition
movements, were able to present candidates(see: United Nations Official
Records: 1812PthP Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda
item 108, 20 November 1969, paragraph 11, p.2).
“Kami dapat bertanya mengapa prinsip “one man,
one vote” direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris Umum tidak
dilaksanakan; Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah
terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer; Mengapa para menteri
dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil di depan umum dengan
menyampaikan mereka bahwa “hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk
mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal bersatu dengan Indonesia”;
Mengapa hak-hak pengakuan dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New York,
berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat; perserikatan dan
perkumpulan; tidak dinikmati oleh seluruh penduduk asli Papua” ( lihat:
Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna 1812Pth PSidang Umum PBB, agenda
pokok 106, 20 Nopember 1969, paragraf 14, halaman 2).
Kutipan aslinya:
“We might have
asked why the principle of “one man, one vote”, recommended by the
Representative of the Secretary-General, was not adopted; why there was
not a secret ballot, but a public consultation in the presence of the
government authorities and the army; why rights recognised in article
XXII of the Agreement, concerning freedom of opinion statement,
association and assembly, were not enjoyed by all citizens” (see: United
Nations Official Records: 1812PthP Plenary Meeting of the UN General
Assembly, agenda item 108, 20 November 1969, paragraph 13, p.2).
“…. Saya sangat menyesal, saya tidak menemukan
jawaban yang memuaskan dalam laporan. Bahwa bukti-bukti menambah
keprihatinan kita, jika memungkinkan, dengan diikuti keberatan dibuat
oleh Perwakilan Sekretaris Umum:
“Saya dengan menyesal harus menyatakan
keberatan-keberatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian
New York, yang berhubungan dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan
berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli”
(Dokumen PBB, Annex I, A/7723, paragraph 251, hal. 70). ” ( lihat:
Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna 1812Pth PSidang Umum PBB, agenda
pokok 106, 20 Nopember 1969, paragraf 14, halaman 2).
Kutipan aslinya:
“I regret to
have to express my reservation regarding the implementation of article
XXII of the New York Agreement, relating to “the rights, including the
rights of free speech, freedom of movement and assembly, of the
inhabitants of the area”. In spite of my constant efforts, this
important provision was not fully implemented and the Administration
exercised at all times a tight political control over the population”
(UN doc. A/7723, annex I, paragraph 251, p.70)
Dalam tulisan ini juga, penting ditulis apa yang disampaikan oleh Dr. Hans Meijer, Sejarahwan Belanda dalam penelitiannya yang berhubungan dengan hasil PEPERA 1969 di Papua Barat. Hans menyatakan bahwa:
“Sebagian besar hal yang menarik adalah
tentang dokumen-dokumen yang benar-benar tertulis dalam arsif. Sebab
Menteri Luar Negeri Belanda, Lunz, dia menyatakan secara jelas dalam
arsip surat bahwa dia percaya bahwa PEPERA 1969 tidak jujur sebab
jikalau jujur orang-orang Papua bersuara melawan Indonesia …,
sungguh-sungguh itu tidak demokratis dan itu suatu lelucon. Lunz juga,
mengadakan pertemuan sangat rahasia dengan Menteri Luar Negeri
Indonesia, Adam Malik, bahwa Belanda
meninggalkan Papua ketika PEPERA dilaksanakan. Bahkan Belanda telah
mengetahui bahwa PEPERA tidak demokratis, mereka tidak berbuat apa-apa
tentang itu. Mr. Saltimar yang adalah Duta Besar Belanda di Jakarta,
pada waktu pelaksanaan PEPERA, dia menulis surat kepada Mr. Schiff
sebagai Sekretaris Umum Luar Negeri, bahwa tentu saja dia melihat banyak
hal yang salah tetapi itu bukan tanggungjawabnya untuk melaporkan
tentang itu dalam dokumen-dokumen resmi”.
Dr. Hans menambahkan bahwa “…. Khusunya
sebagaimana saya mempunyai teman dari British namanya ialah John
Saltford dan dia meneliti peranan PBB dalam penentuan pendapat rakyat
(PEPERA) dan dengan penelitian saya dan penelitiannya saya berpikir
orang-orang Papua mempunyai masalah yang sangat kuat untuk menunjukkan
kepada dunia bahwa PEPERA adalah suatu penghinaan dan itu sesungguhnya
tidak jujur dan bahwa itu perlu ditinjau kembali”.
Meijer mengatakan pula “Dan sekarang itu
masalah untuk Indonesia bahwa ketika orang-orang Papua menerima semua
dokumen-dokumen saya dan mereka menghadap Presiden Wahid, dan Wahid akan
datang kepada pemerintah Belanda dan berkata: “Baik, saya sangat tidak
gembira dengan apa yang terjadi di Holland tentang diskusi mengenai apa
yang kita lakukan dengan pelaksanaan penentuan pendapat rakyat. Demikian
pemerintah Belanda sangat tidak sungguh-sungguh mengumumkan semua
penelitian saya. Mereka bahkan tidak bereaksi. Mereka sendiri mempunyai
penelitian resmi tetapi hasil penelitian itu memakan waktu
bertahun-tahun. Dan mengapa? Sebab mereka tidak gembira tentang hasil,
sebab itu akan sangat memusingkan kedua negara” (Lihat:
Documents show Dutch support for West Papua take-over, ABC Radio
National Asia/Pasific Program, first broadcasting, 17 April 2001).
C. RESOLUSI PBB TENTANG HASIL PEPERA 1969
Perjanjian antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda tentang New Guinea Barat (Irian Barat). Draf Resolusi PBB No. A./L.574 dari Belgium, Indonesia, Malaysia dan Thailand:
Sidang Umum:
Mengingat
resolusi 1752 (XVII) 21 September 1962 menerima perjanjian antara
Republik Indonesia dan Belanda berhubungan New Gunea Barat (Irian
Barat), peran atas Sekretaris -General dalam perjanjian dengan
menggunakan dan untuk melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan
kepadanya,
Mengingat juga keputusan 6 Nopember 1963 menerima laporan Sekretaris-General penyelesaian UNTEA dI irian Barat,
Mengingat lebih lanjut,
bahwa persiapan-persiapan untuk pelaksanaan pemilihan bebas adalah
tanggung jawab Indonesia untuk menasihati, membantu dan partisipasi dari
perwakilan khusus Sekretaris-General, sebagai mana ditentukan dalam
Perjanjian,
Menerima
laporan hasil-hasil pelaksanaan pemilihan bebas yang disiapkan oleh
Sekretaris-General sesuai dengan pasal XXI, pragrap 1 menyetujui
Perjanjian dan hasil-hasilnya,
Mengingat, sesui dengan pasal Perjanjian XXI paragrap 2, dua negara mengakui
hasil-hasil ini.
Menerima
bahwa Pemerintah Indonesia, dalam melaksanakan rencana pembangunan
nasional, memberikan perhatian khusus untuk pengambangan Irian Barat,
mengingat keadaan penduduk, dan bahwa Pemerintah Belanda, bekerjasama
dengan Pemerintah Indonesia, akan melanjutkan untuk memberikan bantuan
keuangan untuk tujuan ini, khususnya melalui Bank pembangunan Asia dan
lembaga-lembaga PBB.
- Menerima
Laporan Sekretaris General menyatakan dengan penghargaan bahwa
penyelesaian oleh Sekretaris General dan perwakilannya dari tugas-tugas
yang dipercayakan kepada mereka dibawah perjanjian 1962 antara Indonesia
dan Belanda;
- menghargai beberapa bantuan yang disediakan
melalui Bank Pembangunan Asia, melalui lembaga-lembaga PBB atau melalui
orang-orang lain kepada Pemerintah Indonesia dalam usaha untuk
meningkatkan ekonomi dan sosial Irian Barat; (lihat: United Nations General Assembly: A/L.574, 12 November 1969, seventy-fourth session, Agenda item 98).
Dari
Ghana mengamandemen draf Resolusi yang disampaikan oleh Belgium,
Indonesia, Luxemburg, Malaysia, Belanda dan Thailand: (A/L.574).
- Menggantikan peranggap keempat pembukaan sebagai berikut:
Menerima laporan pekerjaan terakhir Sekretrais-General perwakilannya di Indonesia sesuai Perjanjian.
- Menggantikan paragrap kelima pembukaan sebagai berikut:
Mengingat kepentingan dan kesejahteraan rakyat Irian Barat seperti dinyatakan dalam pembukaan Perjanjian.
- Memasukan paragrap baru keenam pembukaan bacanya sebagai berikut:
Lebih lanjut mengingat pasal XVIII Perjanjian dan sebaliknya, menyebutkan untuk pelaksanaan pemilihan bebas sesuai dengan praktek internasional,”
- Memasukan paragrap baru ketujuh pembukaan bacanya sebagai berikut:
“Menegaskan, melanjutkan perhatian PBB sesuai tujuan Perjanjian,”
- Pada akhir paragrap pembukaan, menghilangkan kata-kata “Bank Pembangunan Asia dan”
- Menggantikan paragrap 1 yang berlaku sebagai berikut:
“1. Menerima laporan
Sekretaris-General dan perwakilannya dalam usaha-usaha untuk memenuhi
tanggungjawab mereka di bawah Perjanjian 1962 antara Indonesia dan
Belanda,”
- Memasukan paragrap 2 yang baru berlaku sebagai berikut:
“2. Memutuskan bahwa Rakyat Irian
Barat hendaknya diberikan kesempatan lebih lanjut, akhir tahun 1975
untuk melaksanakan pemilihan bebas sesuai dengan Perjanjian;”
- Menempatkan kembali, paragrap 2 sebagai berikut:
“3. Menghargai beberapa
bantuan yang disediakan melalui lembaga-lembaga PBB untuk menambah
usaha-usaha pemerintah Indonesia demi meningkatkan pembangunan ekonomi
dan sosial di Irian barat” (Lihat: United Nations General Assembly: A/L.576, 19 November 1969, Twenty-fourth session, Agenda item, 98).
Dalam
kaitan dengan pengungkapan rekayasa PEPERA 1969 ini, Dr. John Saltford
dalam penelitiannya di Markas Besar PBB di New York, dengan Judul “ UNITED NATIONS INVOLVEMENT WITH THE ACT OF SELF-DETERMINATION IN WEST IRIAN ( INDONESIAN WEST NEW GUINEA) 1968 TO 1969” mengungkapkan dokumen-dokumen signifikan tentang pelaksanaan PEPERA 1969 yang tidak demokratis di Papua.