Pipit

Selasa, 01 April 2014

Pernyataan Benny Wenda pada memboikot Pemilu Indonesia



KAMI TIDAK AKAN MEMILIH !

17:57

Pada tahun 2014 Republik Indonesia akan mencoba untuk mengadakan pemilihan di Papua Barat. Kami masyarakat Papua menolak untuk memilih dalam pemilu . Mengapa ?
Hari Papua Barat secara ilegal diduduki oleh Indonesia . Kami memiliki hak untuk kebebasan. Kami akan memberikan suara dalam referendum yang benar pada penentuan nasib sendiri. Tapi kita tidak akan memilih dalam pemilu yang terus di Indonesia brutal dan pendudukan tanah kami .
Pada tahun 1963 Indonesia menginvasi negara kita dan meneror orang-orang kami . Selama lebih dari 50 tahun Indonesia telah menyiksa dan membunuh kami . Militer Indonesia telah menewaskan lebih dari 500.000 Papua pria, wanita dan anak-anak . Selama lebih dari 50 tahun kami telah mati untuk kebebasan kita .Pada tahun 1969 , Indonesia terancam 1.024 dari tetua suku kami dengan penyiksaan dan kematian jika mereka tidak mengatakan mereka ingin Papua Barat menjadi bagian dari Indonesia . Kekuasaan Indonesia atas Papua Barat hanya didasarkan pada acara ini - persetujuan takut kurang dari 1 % dari populasi orang dewasa . Indonesia tidak memiliki hak untuk berada di Papua Barat. Indonesia tidak memiliki hak untuk mengadakan pemilihan apapun di tanah kami .
Saya menelepon untuk masyarakat saya di seluruh pelosok , dari pantai ke gunung , dari pulau ke pulau . Mari kita tetap kuat dan bersatu . Jangan memilih !
Saya meminta semua organisasi politik Papua untuk berbicara dengan orang-orang kami dan memberitahu mereka kebenaran . Jangan biarkan Indonesia menipu mereka .
Saudari terkasih dan saudara-saudara , orang tua saya tercinta , dunia bangun untuk air mata kita dan penderitaan kita . Di seluruh dunia Anggota Parlemen melobi pemerintah mereka untuk menghormati hak kami untuk menentukan nasib sendiri .
Saya dan orang-orang Papua Barat sekali lagi banding ke masyarakat internasional untuk kebebasan dan keadilan . Kami adalah orang-orang yang damai . Kami memiliki martabat dan hak untuk hidup . Berapa banyak dari kita harus dibunuh sebelum Anda akan bertindak ?
Silahkan mendengar seruan kami :
i ) Papua Barat secara ilegal diduduki oleh Indonesia : kami meminta Indonesia untuk meninggalkan tanah kami segera;
ii ) Kami meminta PBB untuk mengirim pasukan penjaga perdamaian ke Papua Barat untuk menggantikan militer Indonesia ;
iii ) Kami meminta masyarakat internasional , khususnya Amerika Serikat dan Belanda yang memiliki keduanya memainkan bagian penting dalam memungkinkan pendudukan Indonesia , bertindak untuk mengembalikan kita kebebasan kami dan menghormati hak-hak kita sebagai manusia , termasuk hak-hak kami untuk sumber daya alam kita . Kami adalah orang-orang yang harus berurusan dengan , bukan pemerintah dan militer Indonesia .
iv ) Kami meminta PBB untuk mengadakan referendum benar di antara masyarakat Papua dan biarkan kami memutuskan sekali dan untuk semua apakah kita ingin aturan atau kemerdekaan Indonesia .
Kami , orang-orang Papua , memiliki hak untuk kebebasan. Kami adalah koloni Belanda . Kami memiliki hak untuk merdeka dari Belanda . Tapi itu tidak terjadi . Satu juta masyarakat adat di Belanda New Guinea yang ditukar seperti manik-manik oleh Amerika Serikat sebagai imbalan atas dukungan dan akses ke kekayaan besar kami sumber daya alam Indonesia . PBB mengkhianati kita dan memberi tanggung jawab Indonesia untuk kemerdekaan kita . Kami masih menunggu untuk menggunakan hak kami untuk menentukan nasib sendiri .
Jika Anda ingin orang-orang Papua untuk memilih - memberi kita referendum pada kebebasan kita .
Kemudian kita akan memilih !
Benny Wenda

Link : http://bennywenda.org/2014/benny-wenda-statement-on-boycotting-indonesian-elections/?utm_source=rss&utm_medium=rss&utm_campaign=benny-wenda-statement-on-boycotting-indonesian-elections

Jumat, 27 Desember 2013

TIMIPOTU NEWS: 16 DESEMBER 2009: KELY KWALIK TELAH DIBUNUH DAN ME...

TIMIPOTU NEWS: 16 DESEMBER 2009: KELY KWALIK TELAH DIBUNUH DAN ME...:YOGYA. TIMIPOTU NEWS. Demi masyarakat dan demi tanah saya, saya akan hidup dalam hutan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah di bumi Papua. Itulah kata-kata revolusionar sang jendral “Kely Kwalik” saat masih hidup di hutan belantara.

KelyV Kwalik telah dibunuh oleh militer Indonesia pada, 16 Desember 2008 di Gorong-gorong-Timika Papua. Saya merasa untung apabila nyawa saya dihabiskan oleh militer Indonesia demi masyarakat dan tanah Papua tetapi saya merasa rugi dan lebih sakit hati ketika anak cucu saya tidak melanjutkan perjuangan saya untuk mengusir “kamu” Indonesia dari tanah Papua. itulah kata-kata terakhir sang Jendral di dalam mobil ambulance Militer.

Sejak Kely masih hidup, banyak pergerakan-pergerakan yang dilakukan di areal PT. FREEPORT sebagai bentuk perjuangan Kemerdekaan Papua. Kely dikenal sebagai salah satu pemimpin perjuangan Papua Merdeka yang berada dalam hutan limbah di bumi Mimika. 

Kely selalu mengatakan dalan hutan belantara bahwa “Tumbuhan adalah makanan saya, pohon adalah rumah saya, hewan adalah pelindung saya, batu dan tanah adalah kekuatan saya”. Hujan adalah minuman saya, panas adalah obat saya, dan salju adalah penyelamat saya. 

Hampir setiap hari, militer Indonesia dengan satuan keamanan selalu bekerja keras untuk mendapatkan Kely Kwalik. Sering kali TNI/POLRI menyerang keadiaman Kely dan kawan-kawannya namun, masih saja tidak berhasil untuk mendapatkan sang Pejuang itu. Pencarian Kely tidak hanya dilakukan oleh TNI/POLRI saja tetapi negara pun bekerja keras untuk mematahkan semangat Revolusi yang selalu berkobar-kobar dalam hutan bersama bendera Bintang Kejora di depan Kediamannya.

Berbagai macam cara yang digunakan untuk menggugurkan Kely namun sayangnya militer tidak juga berhasil menggugurkan Kely dari semangat perjuangan kemerdekaan Papua Barat. 

Dalam ramainya militer yang sedang mencari Kely Kwalik itu, sang Jendral Kely kembali mengatakan “walaupun dari berbagai kekuatan militer dan TNI/POLRI mencari-cari saya untuk membunuh saya, saya akan selamat dari mulut mangsa sebab tanah Papua adalah mama saya dan hujan dan salju adalah roh penyelamat saya”. Itulah ungkapan balasan Kely kepada TNI/POLRI dan Negara Indonesia.

Saya sudah tahu bahwa “saya adalah orang yang sedang dicari oleh negara” namun saya tidak akan pernah mundur dari garis perjuangan saya. Saya sudah mengerti bahwa negara Indonesia adalah penjajah manusia dan alam Papua maka nafas hidup saya adalah nafas perjuangan sampai kemerdekaan Papua jatuh di tangan manusia Papua. kata Kely dalam medan pertempuran perjuangan.

Bertahun-tahun Kely hidup dalam hutan enta apa makanan dan minuman dia disana. Bertahun-tahun Kely hidup dalam hujan, panas, dingin entah apa pakaian dia yang menutup tubuhnya yang sedang bertarung demi ras Melanesia di bumi Papua. Bertahun-tahun Kely melakukan perlawanan terhadap kekuatan yang benar-benar terlatih dan dididik oleh negara, enta apa kekuatan sang Kely.

Saat-sat itu, Kely Kwalik hanya bisa mengatakan, demi masyarakat saya “Papua” dan demi tanah leluhur Papua, saya akan hidup dalam hutan sampai titik darah saya habis di hutan. Tumbuhan adalah makanan saya, pohon adalah rumah saya, hewan adalah pelindung saya, dan batu dan tanah adalah kekuatan saya”. Hujan adalah minuman saya, panas adalah obat saya, dan salju adalah penyelamat saya. Kata Kely dalam perjuangan.

Yang perlu memberikan apresiasi dalam perjuangan Kely adalah “bisa mengoyahkan PT. FREEPORT yang saat ini berada di urutan dua di dunia”. Kely tidak memiliki skil dan teknik perang tetapi bisa masuk di area pertambangan yang dipenuhi oleh TNI/POLRI yang dimanjakan dengan dolar untuk menjaga keamanan. Militer yang ada di area pertambangan Freeport hampir sama dengan pasir-pasir di pantai yang tidak bisa hitung jumlahnya namun SANG PEJUANG PAPUA “KELY KWALIK” bisa masuk areal tersebut untuk merebut kedaulatan dan kemerdekaan bagi manusia Papua.

Saya akan turun dengan salju karena memang saya adalah salju dan saya akan turun dengan hujan karena memang saya dilahirkan dan dibesarkan dalam hujan. Itulah kata-kata Kely saat pengerangan Freeport. Saya tidak akan pernah menembak karyawan-karyawan Freeport dan juga saya tidak akan menembak mandor atau bos Freeport maupun TNI/POLRI yang mengaja areal pertambangan karena saya tidak diajarkan untuk membunuh tetapi apabila TNI/POLRI memangsa saya maka sebelum saya dimangsa habis, saya akan bertindak lebih duluan. Ungkapan sang Jendral Kely.

Kely sangat dikenal karena nama Kely sudah terdaftar di Negara Indonesia dalam daftar pencarian namun Kely disayangi oleh masyarakat Papua karena dia adalah pejuang hak-hak dasar masyarakat Papua. Kely dibenci oleh TNI/POLRI dan Negara namun Masyarakat Papua sangat mencintai Kely karena dia adalah sang Revolusi bagi manusia Papua. Kely dikejar-kejar oleh militer namun Kely selalu saja ada dalam masyarakat Papua.

Negara boleh membenci saya, negara boleh kejar-kejar saya, dan negara boleh tembak saya tetapi negara tidak akan pernah kejar, benci, dan tidak akan membunuh ideologi Papua Merdeka. Itulah kata-kata Kely sebelum dibunuh oleh negara bersama militer Indonesia pada 8 Desember 2008 silam.
Dari sekian banyak pergerakan revolusi itu, Kely kembali dibujuk mealului tangan dan mulut orang-orang yang telah menjadi JUDAS. Dari berbagai cara, bentuk dan sistem yang dijalankan oleh negara bersama militer untuk menggugurkan sang Revolusioner KELY KWALIK itu, pada akhir negara berhasil menghabiskan atau memangsa roh dan nyawa sang jendral Kely Kwalik di Gorong-gorong Timika-Papua pada, 16 Desember 2008 lalu.

Kely dibujuk, dimaniskan, dipasang oleh orang-orang yang memang sudah diipnotiskan dan sudah menjual identitas bangsa Papua kepada penjajah di bumi Papua. Sangat mudah diperjual-belikan sang pejuang kepada penjajah dan sangat sulit mempertahankan identitas bangsa Papua. Sangat mudah menjual sesama ras hanya karena harta kekayaan dan sangat sulit mempertahankan ideologi bangsa Melanesia. Sangat mudah mendapatkan jabatan dalam birokrat dan sangat sulit menjaga, melindungi pejuang bangsa Papua.

Kely Kwalik ditembak di bagian paha dengan alat negara Indonesia yang mustinya untuk melindungi warga negara. Darah Kely atau darah perjuangan itu terus mengalir dalam mobil militer yng sedang dibawah ke Rumah sakit Kuala Kencana milik Freeport.

Darah Kely Kwalik terus mengalir namun Kely hanya berteriak keras-keras di tengah-tengah militer yang moncong senjatanya berjejer di hidung dan jantung “PAPUAMERDEKA, PAPUA MERDEKA, PAPUA MEREKA, PAPUA MERDEKA sampai titik-titik darah penghabisan yang melepaskan nafas kehidupan terakhir.

Kely Kwalik tidak membenci kepada militer yang menembak dirinya dengan sejata tetapi Kely malah berbicara dengan mereka dalam penuh senyuman walaupun darah terus mengalir habis dari tubuhnya. Sebelum Kely menghembuskan nafas terakhir, KELY KWALIK hanya mengatakan beberapa kalimat kepada NEGARA dan Militer yang sudah menebak “saya telah ditembak dan pasti saya akan mati/meninggal namun, ideologi Papua merdeka tidak akan pernah dibunuh oleh militer sekalipun dengan alat negara yang cangih.

Saya telah ditembak dan saya akan meninggal tetapi anak cucu saya akan hadir untuk melanjutkan perjuangan saya. Saya telah ditembak dan pasti saya akan meninggal tetapi dari satu orang ini akan tumbuh seribu cabang yang mengagumkan. Saya ini adalah seorang pejuang yang belum pernah sekolah sampai Sarjana tetapi anak-anak saya akan hadir dan berdiri di setiap negara untuk berjuang Papua Merdeka. kata Jendral Kely Kwalik dalam mobil ambulance setelah ditembak.

Selain itu, Kely Kwalik pun kembali berpesan kepada militer yang ada dalam mobil ambulance, sebelum Papua Merdeka, negara Indonesia segera minta pengampunan kepada Allah atas doso-dosa Politik di Papua karena apabila tidak mengaku sampai Papua merdeka berarti negara Indonesia akan menjadi negara termiskin di dunia. Saya yakin, kalau Papua merdeka, Aceh pun akan merdeka, Maluku juga pasti Merderka. Kata-kata terakhir sang Kely.

Sebelum saya mengakhiri roh nafas Kehidupan, saya tidak mempunyai kata-kata atau pesan kepada orang Papua dan Alam Papua karena tentu roh saya akan tinggal dalam manusia Papua diatas alam Papua. Saya tidak memberikan kata-kata terahkir kepada anggota OPM saya dan seluruh masyarakat Papua karena roh saya tidak akan lari jauh dari tanah Papua. jawab Kely kepada militer dalam ambulance ketika militer tanya kepada Kely; apakah ada pesan untuk masyarakat Papua.

Kely telah dibunuh oleh militer Indonesia namun kata-kata Kely akan menjadi motivasi bagi generasi Papua dalam perjuangan Papua Merdeka. Kely telah dibunuh namun perjuangan Papua tidak pernah berhenti sampai disitu. Kely telah dibunuh namun dengan pembunuhan Kely telah menghantar isu Papua merdeka di meja PBB.

Benar sekali, kata-kata terakhir sang jendral Kely Kwalik “saya telah dibunuh tetapi akan banyak muncul anak cucu saya untuk melanjutkan”. Ungkapan Kely itu telah terbunkti dengan berdiri kantor OPM di INGGRIS, BELANDA, PNG dan di negara-negara lain yang sedang mendukung Papua Merdeka.

Tidak hanya itu, setelah THEYS, KELY, MAKO dan beberapa orang Papua dibunuh oleh Militer, seluruh masyarakat Papua kembali bersatu untuk mengusir penjajahan. Hal ini telah terbukti dengan adanya aksi-aksi yang digelar oleh manusia Papua walaupun hidupnya selalu berada dibawah tekan negara bersama kekuatan militer.

Bukan hanya masyarakat saja yang diperjuangkan tetapi pelajar dan mahasiswa juga sudah memiliki ideologi dan nasionalisme Papua. Banyak pelajar dan mahasiswa yang selalu saja melakukan aksi-aksi dengan melukiskan bendera bintang kejora di tubuhnya. Hal ini telah menunjukan bahwa, perjuangan Papua Merdeka bukan hanya dijuangkan oleh sekelompok orang saja tetapi seluruh masyarakat Papua yang ber-ras Melanesia.

THEYS dan ARNOLD dibunuh, Kely dan MAKO pun telah dibunuh sementara banyak masyarakat Papua dihabiskan dengan Kekerasan Militer. Namun, perjuangan tetap berjalan. 

Selamat berjuang, selamat merebut Kemerdekaan Papua, dan selamat menjemput kemerdekaan Papua Barat. Perjuanganmu sangat berharga dari pada mudah mendapatkan jabatan dalam NKRI. 

Seluruh aktivis baik yang ada di Papua, di luar Papua maupun di luar negeri, selamat berjuang demi masyarakat Papua dan tanah leluhur Papua. Allah segala-galanya bersama kalian, Allah bangsa Papua bersama Kalian dan Allah diri manusia bersama kalian.(Bidaipouga Mote)

Minggu, 15 Desember 2013

Dunia harus Buka Mata atas Penderitaan dan Kepunahan Etnis di Bumi Cendrawasih

PANIAI, SUARA WIYAIMANA: di Nyiur Melambai. Hari Senin, Tgl (09/12/2013) kepada, Suarawiyaimana.blogspot.com.  Penulis mengatakan bahwa, saya merasa simpati terhadap rakyat yang  sedang mengalami penderitaan saat ini, sehingga perlunya dunia harus buka mata, ujarnya.


Dia mengatakan “ Dunia sudah keadaan darurat,” dimana-nama terus-menerus berduka atas kematian yang berdampak pada suatu etnis. Kemudian kematian atau pemusnahan etnis juga terjadi karena keegogisan dari penguasa dunia. Bahkan pula, diapun merasa kekhawatirannya; atas kematian umat Tuhan tanpa berdosa ini. Menurutnya, setiap saat umat Tuhan yang berada di Negeri ini,  sudah menuju pada kepunahan etnis, jelasnya’. Oleh karenanya, belahan dunia perlu melihat dan intervensi atas ketidakadilan yang  terjadi di Negeri ini sebagai mediator.
Dia kembali menegaskan bahwa, konflik yang terjadi di Negeri ini, tidak sama dengan konflik yang terjadi di negeri – negara lain. Karena menurutnya, konflik di Tanah air adalah masalah rekayasa politik . Dan orang-orang  yang dianggap penghuni atau pribumi  juga selalu dipandang primitif.  Kekayaan Alam “Natural resources” mereka dieksploitasi oleh United State and Indonesia Government. Kalau kita sebagai manusia yang mulia terhadap sesama ada perasaan atas perampasan dan  pengambilan hak milik orang lain secara ilegal itu, tandasnya;

“Dia menyikapai permasalahan situasi seperti saat ini, sangat sulit menemukan akar bersoalannya sehingga dikatakan persoalan itu, sebagai  momentum bagi masyarat yang hendak memisahkan diri dari kolonialisme. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, Siapakah yang akan menyikapi dan bertanggung jawab atas semua koflik ini?. Apakah pemimpin agama yang bisa memberikan suatu pencerahan disertai dengan kebenaran. Agar konflik itu, dapat diselesaikan secara radikal tanpa mengabaikan pelanggaran Hak asasi manusia (HAM). 

Penulis hanya menyarankan sebagai seruan perasaan bahwa, pihak yang menindas juga tidak selamanya, diperlakukan diskriminasi, dan pembantian terhadap komunitas yang dianggap pribumi itu. Sebab merekapun hidup dalam sona yang damai dan umat  yang diciptakan oleh  Tuhan senantiasa diperdamaikan atas segala kejahatan itu. Apakah peristiwa atau kejadian yang terjadi ini, bersifat sesaat atau kah memang terbudaya pada etnis itu sendiri? . Dunia seharusnya, perlu merekonsiliasi atas ketidakadilan ini, sehingga terciptanya kedamaian dan ketenteraman menantikan kedatangan penentuan nasib sendiri, jelasnya;

Untuk itu, mereka yang selalu menegakkan keadilan demi kemanusiaan tentu akan melakukan perlawanan hingga terciptanya " Kebebasan" para etnis itu sendiri sampai penentuan nasib sendiri.  Setiap manusia harus bebas untuk selama-lamaya “Merdeka”.

Oleh : [ MS / Awimee G ]

Kemanusia dan Ketentraman di Bumi Cendrawasih



Sabtu, 10 Agustus 2013

Respect the World Indigenous Peoples


National News

UN Secretary General Urges Respect Indigenous People World

NEW YORK-Zone of Peace: All governments around the world must honor agreements with indigenous groups in making decisions in all areas, said UN Secretary General Ban Ki-moon on Friday (08/09/2013).
"Such consensus setting allows a better understanding of the values ​​and their views and it is important to protect and promote the rights and political vision and establish the necessary framework for different cultures to live in harmony," Ban said, while commemorating the International Day of Indigenous People world.
There are more than 5,000 different indigenous groups in some 90 countries, or more than five percent of the world's population, according to United Nations statistics. Ban said the participation of indigenous peoples in decision-making must be ensured at all levels.
"Indigenous peoples have explained that they want development that takes into account the culture and identity and the right to set their own priorities," Ban said, as quoted by Xinhua on Saturday (10/8). He added that the post-2015 development agenda must work together with the rights, perspectives and needs of indigenous peoples.
International Day of World's Indigenous People has been celebrated since 1995, and this year's theme is "Honoring treaties, agreements and other constructive arrangements". 

Most indigenous people have visited the UN Headquarters in New York, USA, to commemorate the day. Most Native American People rode horses for four days to go to New York. "I urge all member states to undertake concrete steps to address the challenges faced by indigenous peoples, especially the non-involvement and their isolation, by honoring all commitments and examine what can be done," said Ban. [REPUBLIKA.CO.ID]
   
source : http://zonadamai.wordpress.com/2013/08/10/sekjen-pbb-desak-dunia-hormati-masyarakat-pribumi/Sekjen PBB Desak Dunia Hormati Masyarakat Pribumi

World socialist Web Site


Documents confirm US colluded in Indonesia’s 1969 incorporation of Papua

By John Roberts
30 August 2004
Recently declassified documents from the archives of the US State Department have shed a little more light on one of the many grubby chapters of US foreign policy in the Cold War period: how Washington worked with the UN and Indonesia’s Suharto dictatorship to stage a phoney “Act of Free Choice” in West Papua in 1969.
West Papua, or West Irian, remained under Dutch control following Indonesian independence in 1949, as part of the settlement presided over by Washington. Talks on its future status between the Netherlands and Indonesia were meant to follow, but never took place.

The WSWS needs your support!

Your donations go directly to financing, improving, and expanding the web site.
Donate
The Dutch, seeking to cling onto West Papua as a base of operations in the region, cultivated a small educated Papuan elite and promoted the idea of an “independent” Papua. For President Sukarno, however, the incorporation of West Papua into Indonesia became a nationalist rallying cry to bolster his shaky regime. In response to a declaration of “Papuan independence” in 1961, Indonesian troops took over the territory.
US President Kennedy, keen to strengthen relations with Sukarno, sided with Indonesia and compelled the Netherlands to sign an agreement in New York in August 1962. Following a short period under UN administration, West Papua was handed over to Indonesian control in 1963 subject only to a UN-supervised “Act of Free Choice” (AFC) scheduled for 1969.
Following the 1965-66 US-backed coup led by General Suharto in Indonesia, US administrations, first of Lyndon Johnson and then Richard Nixon, were adamant that West Papua had to remain part of Indonesia. Washington’s main concern was to ensure the stability of the Suharto junta as the lynchpin of US strategic policy in a region increasingly destabilised by the Vietnam War.
The documents collated by the US-based private research organisation National Security Archives [www.narchive.org] and released last month primarily cover the period 1967-69—that is the lead up to the AFC. They reveal the cynicism with which US and UN officials approached the task of “consulting” Papuans in July 1969 and then getting the outcome rubberstamped by the UN General Assembly in November 1969.
Cables to the US State Department from the Embassy in Jakarta made clear that the wishes of the Papuan population were of no concern to the US. The top priority was to ensure the survival of Suharto as a bulwark in the region. There were economic interests as well. In 1967, Suharto opened up Indonesia to US investment. One of the first beneficiaries was the New Orleans-based Freeport corporation, which develop a huge gold and copper mine at Grasberg in Papua.
In August 1968, US Ambassador in Jakarta, Marshall Green, telegraphed Washington, explaining: “Retention of West Irian as full fledged Indonesian province is a political necessity for Suharto government and for [Indonesian foreign minister] Adam Malik.... [L]oss of territory through ‘Act of Free Choice’ would undermine Malik and deal serious blow to Indonesia’s political stability.... [P]olitical Muslims and jingoists ... would use loss of West Irian as basis for all out attack on Suharto administration and moderates who are now setting Indonesian policy. They could set in motion trends which would unseat this government....”
Green warned, however, that the US should work behind the scenes and “not become directly involved in the issue” but at the same time make the US stance clear. “[I]t would be unrealistic for any UN member who knows the situation in West Irian to hold out for free and direct elections, nor should we refer to UN ‘supervision’ when this is not stipulated in Agreement,” he declared.
It had already become clear from a US consular visit to Papua in early 1968 that Indonesia’s presence was “expressed primarily in the form of the army”. The US consul noted the “antipathy or outright hatred believed to be harboured towards Indonesia” in more developed areas. “It is the opinion of most observers in the area that Indonesia will not accept independence for West Irian and will not permit a plebiscite which would reach such an outcome,” he added.
The reason for the hostility was evident. Following the takeover in 1963, Indonesian authorities cracked down on any opposition to their presence. In the aftermath of Suharto’s coup, the military imposed the same repressive measures as it used throughout the archipelago, which resulted in the genocide of at least half a million supporters of the Indonesian Communist Party (PKI) and other political opponents.
Stepped-up repression
In the lead-up to the AFC, the crackdown intensified. A June 1969 survey by a US Embassy official in Jakarta reported stepped-up police and military efforts to prevent any public expression of opposition, including “preventive arrests since late April of known Free Papua activists, round-up in Djajapura of one man-one vote demonstration leaders”. It gave details of the isolation by the military of revolts in more remote areas, including in North Biak, Bird’s Head and Medunamani.
The report noted, however, that the Papuan opposition lacked cohesion, making a broad revolt unlikely and, in any case, the Indonesians were ready to “contain and, if necessary, suppress it”. The official assured Washington that the Indonesian government was sensitive to its international “image” and would “avoid actions that will reflect negatively on the credibility of the AFC in the sensitive eyes of the Netherlands, Australia and with [UN Secretary General] U Thant.”
The survey concluded by stating its agreement with State Department policies, adding: “US government has nothing to gain by interfering in an already complex problem and thereby disrupting present fruitful relationship with the government of Indonesia.”
Frank Galbraith, who took over from Green as US ambassador, was well aware that the upcoming AFC would be a farce. In a memo to Washington in early July 1969, he estimated that “85 to 90 percent” of the population was “in sympathy with the Free Papua cause”. He observed that Indonesian military operations, which had already killed thousands of civilians, “had stimulated fears and rumours of intended genocide among the Irianese”.
President Nixon, who had taken office in early 1969, visited Indonesia immediately before the AFC. In a briefing prior to the trip, National Security Adviser Henry Kissinger focussed attention on the US priority—assuring Suharto’s support in the region as the US sought to extricate itself from Vietnam. Describing Suharto as “a moderate military man” who achieved “impressive results” in “cleaning up the mess left by Sukarno”, Kissinger urged Nixon to impress on the dictator “a sense of our shared purposes and goals in Southeast Asia”.
On Papua, Kissinger strongly advised against any discussion. He described the AFC as “a series of consultations, rather than a direct election, which would be almost meaningless among the stone age cultures of New Guinea”. He noted the presence of a UN observer on the scene but “we assume that U Thant will go along with the Indonesian form of the Act of Free Choice”. Because of the anti-Indonesian opposition, Kissinger advised Nixon to “avoid any US identification with that act”.
Initially there were concerns in Jakarta that the UN observer Oritz Sanz might upset proceedings. Green had telegraphed Washington in August 1968 asking if anyone in the American UN mission had a “close personal relationship” with Sanz. He insisted that “given the high stakes riding on Oritz Sanz’s mission and importance of his getting off on right foot, I believe we should do anything we can indirectly to make him aware of political realities”.
Green had little to worry about. A US official at the UN began acquainting Sanz with the “political realities” before he left New York. Sanz “looks forward to making discreet personal contact with Ambassador Green,” he reported. Sanz worked with US officials in urging Suharto to dress up the AFC. Suharto was under pressure from elements of his regime to simply call off the process.
A US Embassy memorandum recorded a conversation in April 1969 in Sanz’s office involving Indonesian officials. Sanz pointed out that the 1962 New York agreement provided for the right of freedom of speech and assembly in West Irian. In reply, an Indonesian official referred to Malik’s attitude, which was that if such rights were granted in West Irian they would have to be granted in the rest of Indonesia. If such concessions were made, Malik was reported to have said, “the Government of Indonesia would be facing rebellion from various parts of the country within 15 days”.
Nothing resembling democratic rights was permitted in West Papua. The AFC consisted of “consultations” over six weeks in July/August 1969 with just over a thousand handpicked tribal leaders. No popular vote took place. Indonesian authorities ran the proceedings, with a strong military presence. Through a mixture of bribes and threats, the tribal chiefs unanimously “agreed” to the incorporation of Papua into Indonesia.
The final hurdle for Jakarta and Washington was to get the UN to endorse this farce. It was delayed as late as possible and timed to ensure other issues were dominating the UN General Assembly. Sanz was critical of aspects of the AFC, but, as the US documents confirm, this was mainly for show.
On November 17, 1969, just two days prior to the UN vote, US Secretary of State William Rogers, Green, Malik and other US and Indonesian officials held a meeting in which they stressed their common desire for a quick UN decision without any debate. Malik raised concerns that several French-speaking African nations were preparing to object. Rogers reassured Malik that he had been in touch with these delegations and emphasised to them that they had no grounds for objecting. He cautioned against the US being “too active”. “What we want to do,” he said, “is to be discreet but at the same time persuasive.”
The persuasion, it appears, worked. Sanz’s report was read by U Thant without any further comment. The General Assembly “took note” of the Act of Free Choice, with 30 abstentions, thereby giving its imprimatur to the sham.
US support for Indonesia over Papua helped to cement a close relationship with the Suharto dictatorship, which lasted for more than three decades. Successive US presidents turned a blind eye to the savage repression meted out by this “moderate military man” against any form of political opposition, not only in Papua, but throughout the country.
Kissinger personally benefited from the Indonesian takeover. As a director of the US Freeport-McMoRan, which continues to run the huge Papuan mine, he reportedly received an annual fee of more than $500,000 over the period 1995-2001. In addition, he has been a major stockholder in the company and his consulting firm has received large fees.

source :http://www.wsws.org/en/articles/2004/08/papua-a30.html

Selasa, 30 Juli 2013

U.S. Secretary for Political Affairs Sambangi Foker LSM Papua


Jayapura - Second Secretary for Political Affairs of the Embassy (Embassy) United States (U.S.) James P. Feldmayer said, the slightest complaint from the Papuan people still want to hear.
To that end, he asked the NGOs - NGOs in Papua to not despair provide the information that is being developed in Papua to it.
So says the Second Secretary of the Embassy's Political Affairs James P. Feldmayer when age had a meeting with the managers of Foker NGO Papua, Foker LSM Papua in office, at Jalan Kampung Yoka, Heram District, yesterday afternoon, Monday (29/7) approximately 14.00 CET.
Based on the observation Bintang Papua that white guy when after a visit or a closed-door meeting that was accompanied by a female counterpart was immediately rushed to the Office of Papua These indicate.
Meanwhile, the Executive Secretary of the Papua NGO Lienche F. Maloali said, that the purpose of the visit or meeting to invite NGOs - NGOs in Papua to not stop, but continued to provide information about the development and human rights violations that occurred during this time in the company or the Government of Papua to the United States (U.S.).

According to him, the information submitted by NGOs - NGOs in Papua, it will proceed again to the leader - the highest leaders in the U.S. there.
"What was delivered by James P. Faldmayer is they always want to get the latest information from people - people who are in institutions - institutions like this one to them to convey to people - important people as well as to the embassy level - people are there in the Senate, even the Congressional level will also be submitted to the President United States, "he explained.
Lienche said so familiar greeting, that it also conveys to James P. Faldmayer, Foker LSM Papua which is already almost abundant to speak out on human rights violations that continue to occur repeatedly and over the long run, but there has been no serious response from outsiders.
"At first we were a little frustrated because of human rights violations that continue to occur in the Land of Papua. However, they say it is any small thing that we talked about that too as well also get to them and also the - important or great people there. Which, they ask for we can not prevalent in terms of reporting what happened in the Land of Papua, "he added.
Meanwhile, one member of Foker LSM Papua Bas Wamafma requested, the U.S. Government must also notify the Repbulik Government of Indonesia (GoI) to immediately open up democratic space and give freedom for foreign journalists to carry out their journalistic duties over Papua. (Mir/don/l03)

Source : http://draft.blogger.com/blogger.g?blogID=3387915233937999903#editor/target=post;postID=4400729648108298048