Pipit

Sabtu, 29 Desember 2012

RAHASIA DIBALIK PERTEMUAN TERTUTUP

Jakarta-NAPAS.com, Pertemuan tertutup yang digelar di Kantor Menkopolhukam, Jalan Merdeka, Jakarta Pusat, 18 Juli 2012 Lalu, membahas beberapa hal terkait persoalan Papua, yang dinilai akan membahayakan hak hidup rakyat Papua. Pertemuan yang terlihat strategis dan rahasia tersebut,dihadiri Menkopolhukam, Mendagri, Menlu, Menteri Hukum dan Ham, Menkokesra, Mensos, BIN, TNI, POlri, dan lembaga Strategis lainnya.

Dalam pertemuan tersebut, disepakati dan diputuskan Gerakan separatis di Propinsi Papua dan Papua Barat harus dibasmi agar keadaulatan Papua ke dalam NKRI tidak tergeser sedikit pun batas wilayah NKRI di Papua walau satu jingkal tanah pun ditangan musuh. Keutuhan NKRI di tanah Papua akan dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Untuk mempertahankan hal itu, disepakati menggunakan beberapa kekuatan. Kekuatan-kekuatan yang berpotensi digunakan adalah : "kekuatan dasar (Rakyat/Milisi dan Paguyuban); kekuatan utama (TNI dan Polri); Kekuatan Khusus (LINMAS); Kekuatan Cadangan (Investasi/Perusahaan)".

Kekuatan-kekuatan di atas tersebut, difokuskan pada: (1). segera dipemekaran Kab/Kota dan Propinsi di tanah Papua;(2). Menegakkan Hukum dan Mensterilkan Kebebasan Berpendapat di muka umum sesuai UUD 1945; (3). Penambahan pasukan TNI,Polri dan cadangan serta meningkatkan operasi intelijen dan teritorial di Papua; (4). Perkuat ekonomi teritorial melalui Otsus dan UP4B. (BIKO***)
Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : national.papuan.solidarity@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed... 
 Sumber  : http://nationalpapuasolidarity.blogspot.com/2012/12/rahasia-dibalik-pertemuan-tertutup.html

AKSI TUTUP MULUT, AMP GUGAT "TRIKORA" 19 DESEMBER 1961

Aksi Tutup mulut, AMP Menggugat Trikora 1961(foto: dok, AMP/Andy-go)
Yogyakarta-- Puluhan masa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Se-jawa-Bali, kembali melakukan aksi Bisu (Aksi Tutup mulut)  menggugat Trikora 19 desember 1961. Dalam aksinya spanduk besar tertulis “19 Desember 1961, Awal Penjajahan Indonesia atas Negara Papua Barat”. Masa aksi memegang empat  poster Bintang  kejora dan tujuh poster tuntutan aksi dalam keadaan hujan besar.
Tuntutan Utama aksi tutup mulut yakni; “pertama PBB dan Indonesia Harus Mengakui Kedaulatan Negara West Papua, Kedua, PBB untuk menggugat pendudukan Indonesia di tanah Papua, ketiga, Penguasa Indonesia untuk menarik Militer (Tni-Polri) dari Seluruh Tanah Papua, keempat, Militer (Tni-Polri) Indonesia untuk menghentikan aksi brutal berupa penangkapan dan pembunuhan kepada aktivis dan seluru rakyat Papua, kelima, Inggris Amerika dan Australia segerah hentikan kerja sama militer dengan Indonesia dalam bentuk apapun, “Press Release aksi bisu.
Aksi awal mulai hingga selesai Selama aksi di hadang dalam hujan deras mulai aksi sampai aksi usai, dalam keadaan hujan yang cukup berat, tetapi semangat dari masa aksi, maka aksi berjalan dengan baik dan aman, Rabu (19/12/2012) pukul 10:30 Wib.
“Aksi tutup mulut AMP kali ini, kordinator lapangan (korlap) Agus D, menyatakan  kita tutup mulut (Aksi bisu) awal sampai jumpa pers disampaikan oleh Juru bicara (jubir) oleh Rinto K, kepada wartawan yang meliput kegiatan aksi. Diisi dengan Puisi Tangisan Papua oleh perwakilan perempuan Papua, Dilanjut dengan Pembacaan pernyataan sikap, “tutur agus sebelum aksi mulai.
Kemudian mulai kumpul asrama mahasiswa Papua “Kamasan I” Jogyakarta. Masa aksi berjalan kaki dari  Asrama Papua longmarch sampai depan Perempatan Kantor Pos pusat Malioboro Yogyakarta, selama aksi, masa aksi  tutup mulut dengan kain hitam tanpa bersuara kemudian ikat kepala dengan Kain putih tulisan “ Free West Papua”
Depan kantor Pos Pusat Kordinator umum  Paul Hegemur membacakan Pernyataan Sikap aksi Tutup mulut, 19 Desember 1961, Soekarno mengumandangkan TRIKORA di Alun-Alun Utara Yogyakarta dengan tujuan untuk mengagalkan pembentukan negara Papua Barat yang telah dideklarasikan pada 1 Desember 1961. TRIKORA merupakan awal dilakukannya penjajahan Indonesia atas negara Papua Barat.

Realisasi dari isi Trikora ini, maka Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat (Sekarang Papua) mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke wilayah Papua Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.
Akhirnya dilakukan beberapa gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan pada fase eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus).  Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan dicurigai banyak orang Papua yang telah dibantai pada waktu itu.
Hingga kini, Militer (TNI-Polri) merupakan alat negara Indonesia yang paling ampuh untuk menghalau gejolak perlawanan Rakyat Papua yang menghendaki kemerdekaan sepenuhnya dari Indonesia. Berbagai kasus pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) Rakyat Papua terjadi akibat kebrutalan Militer Indonesia.
Selanjutnya masa aksi tutup dengan doa oleh Noak G, kemudian berjalan kaki pulang  keasrama Papua dengan tanpa suara dalam keadaan hujan. (un/Andy)
titik awal Mulai, Aksi tutup Mulut Aliansi Mahasiswa Papua Terkait Trikora 1961

siap jalan Aksi tutup Mulut Aliansi Mahasiswa Papua Terkait Trikora 1961

depan kantor pos pusat jogya, http://www.malanesia.com/2012/12/aksi-tutup-mulut-aliansi-mahasiswa.html

Aksi tutup Mulut Aliansi Mahasiswa Papua Terkait Trikora 1961

Aksi tutup Mulut Aliansi Mahasiswa Papua Terkait Trikora 1961

Aksi tutup Mulut Aliansi Mahasiswa Papua Terkait Trikora 1961

Aksi tutup Mulut Aliansi Mahasiswa Papua Terkait Trikora 1961

Aksi tutup Mulut Aliansi Mahasiswa Papua Terkait Trikora 1961

Aksi tutup Mulut Aliansi Mahasiswa Papua Terkait Trikora 1961

Aksi tutup Mulut Aliansi Mahasiswa Papua Terkait Trikora 1961

Aksi tutup Mulut Aliansi Mahasiswa Papua Terkait Trikora 1961

Aksi tutup Mulut Aliansi Mahasiswa Papua Terkait Trikora 1961

Aksi tutup Mulut Aliansi Mahasiswa Papua Terkait Trikora 1961

Add caption

Aksi tutup Mulut Aliansi Mahasiswa Papua Terkait Trikora 1961

Aksi tutup Mulut Aliansi Mahasiswa Papua Terkait Trikora 1961
Aksi tutup Mulut Aliansi Mahasiswa Papua Terkait Trikora 1961

 Sumbe : http://networkedblogs.com/G8CdQ

Australia’s evolving position on West Papua

by: Tom Clarke
From: The Australian
November 30, 2012 12:00AM
VARIOUS solidarity gatherings will be held around the world this weekend to mark the 51st anniversary of the first raising of West Papuan “morning star” flag – an act that continues to attract a 15 year prison sentence in Indonesia.
While Australian protests and awareness raising concerts are likely to attract only modest numbers, there are signs that both the Australian public and politicians are becoming increasingly concerned with the human rights situation in the province.
Indeed, while growing public sympathy for Papuan cries for “merdeka”, the Bahasa word meaning freedom or independence depending on the translation, is unlikely to translate into any official support for Papuan sovereignty any time soon, there are signs that Australian political leaders are prepared to take a more principled stance on human rights in the province than previously.
To Bob Carr’s credit, he is possibly Australia’s first foreign minister to directly acknowledge the escalating problems in Papua and call on Indonesia to respect human rights.
Digital Pass $1 for first 28 Days
Disappointingly though, Carr continues to frame his answers to questions about Papua in terms of the budgetary impacts of “upsetting” Indonesia.
Taking a principled stance in defence of basic human rights should not be influenced by budget and trade concerns. He has also unhelpfully attempted to characterise anyone with concerns about the deteriorating human rights situation in Papua as being “pro-independence”. (For the record the Human Rights Law Centre does not have a position on the topic of independence; our focus is purely on the promotion and protection of human rights.)
Carr’s circumspect approach is contrasted by the forthright, and most welcome, comments made by Attorney General, Nicola Roxon, while in Indonesia recently for a series of meetings on issues of law and justice. Roxon told the ABC that Australia’s recognition of Indonesia’s sovereignty over Papua would not stop the Government from registering concern about the situation there. She went on to say Australia is firmly committed to making sure that any abuses or alleged abuses by security forces in Papua are properly investigated and punished.
At the other end of the spectrum within Government ranks is Defence Minister Stephen Smith who, when announcing a new defence co-operation agreement with Indonesia, said he has “no concerns” about the human rights situation in Papua.
Smith’s “head in the sand” approach is particularly alarming given it came only weeks after the ABC’s 7.30 program aired evidence that an Indonesian counter-terrorism unit, which receives extensive training and support from the Australian Federal Police, has been involved in torture and extra-judicial killings in West Papua.
Meanwhile, a ‘parliamentary friends of West Papua’ group recently established by the Greens, has attracted cross party support. The group’s most recent meeting was attended by Labor, Liberal, DLP and independent MPs. This is a positive sign that at least some members of each party recognise that Australia can maintain good diplomatic relations with Indonesia while taking a principled stand and defending human rights at the same time.
During a recent visit to Australia, Indonesia’s Vice Minister of Law and Human Rights, Denny Indrayana, told students at Melbourne Law School that freedom of political participation, together with a free and independent media, were two fundamental pillars of democracy.
He is right of course. However, the reality is that Jakarta’s commendable democratic reforms of the last decade have not made it to West Papua. Despite the fact that Indonesia ratified the International Covenant on Civil and Political Rights in 2006, human rights are severely curtailed in Papua. Protests are routinely and forcibly shut down. Political activists and bashed, jailed or killed. Papuans do not enjoy many of the basic freedoms that other Indonesians have gained.
Australian politicians can and should be more proactive in encouraging their Indonesian counterparts to ensure human rights are enjoyed throughout the entire Republic.
There is no reason why Carr could not challenge Indonesia’s effective media ban and insist that Australian journalists be allowed to travel to and report from West Papua.
Further, a complete review of Australia’s relationship with Indonesia’s military and security forces is urgently required to ensure we are in no way aiding or abetting human rights abuses, directly or indirectly, through our support of Indonesia’s elite counter-terrorism unit, Detachment 88.
And finally, Carr should utilise Australia’s unique position in the region, along with our new position on the UN Security Council, to play a leadership role in bringing the world’s attention to the problems in West Papua.
For too long Australia supported the pro-military and anti-reform remnants of the Suharto regime. Now we have an opportunity to better align ourselves with the mainstream Indonesian human rights movement that recognises that the problems in West Papua do not have a military solution.
Tom Clarke is a spokesperson for the Human Rights Law Centre. (www.hrlc.org.au) He is on twitter: @TomHRLC
http://www.theaustralian.com.au/opinion/world-commentary/australias-evolving-position-on-west-papua/story-e6frg6ux-1226526868765

Sumber : http://www.wpnla.net/australias-evolving-position-on-west-papua.html

Tahun 2013, Situasi Politik Papua Memanas

JAYAPURA - Pengamat Hukum dan Politik Internasional, yang juga Dosen Hubungan Internasional FISIK Uncen JAyapura, Marinus Yaung, memprediksikan pada tahun 2013 mendatang, situasi politik di Papua sangat memanas, dan berjalan tidak normal serta menimbulkan persoalan baru.
Faktor utama penyebabnya adalah pelaksanaan Pemilukada Gubernur/Wakil Gubernur (Pilgub) Provinsi Papua, yang notabenenya akibat dari keputusan KPU Provinsi Papua yang tidak memperhitungkan dengan baik sebab dan akibatnya.
Tentang penetapan calon/kandidat (Cagub dab Cawagub) yang lolos Pilgub, itu betul-betul membawa suatu kondisi yang tidak menguntungkan bagi politik nasional.
“Secara generalis ini menguntungkan politik lokal, tapi kalau perhitungan politik nasional/internasonal tidak menguntunbgkan sama sekali,” ungkapnya kepada wartawan dalam keterangan persnya di Café Axel, Jumat, (29/12) kemarin.
Menurutnya, harus jujur kepada rakyat Papua, bahwa kepentingan internasional, terutama kepentingan para donator dan investor dalam Pilgub ini sangat besar sekali, para investor asing dalam kurung
waktu 5 tahun pada pemerintahan Gubernur Basnabas Suebu, itu begitu tertarik melakukan investasi besar-besar di Papua, bahkan lembaga-lembaga donator internasional membuat kantor perwakilannya di Papua, karena ada kepercayaan terhadap kepemimpin Gubernur Barnabas Suebu pada waktu itu.

Sumber : http://bintangpapua.com/

Pangdam : Jika Terbukti akan Ditindak Bila Perlu Dipecat

JAYAPURA - Dugaan keterlibatan oknum TNI dalam kasus penembakan Nelayan di Raja Ampat, tidak dibantah oleh  Panglima Kodam XVII Cenderawasih. Mayjen TNI Christian Zebua, dan saat ini TNI bersama Polri masih terus menyelidiki kasus ini.
“Saat ini kami masih terus melakukan penyelidikan guna mengungkap siapa pelaku dan apa motifnya,” aku Pangdam Zebua menjawab pertanyaaan ANTARA di Jayapura, Jumat (28/12) kemarin.
Pangdam mengatakan bila nantinya hasil penyelidikan dan penyidikan ternyata oknum anggota TNI terlibat. TNI tidak akan menutup-nutpi, tetapi akan dibuka terang benderang.
Soal lanjut Pangdam pihaknya tidak akan segan segan menindak yang bersangkutan. Kalau perlu dipecat karena apa yang dilakukan tidak mencerminkan tugas pokok TNI sebagai pelindung rakyat.
Namun atas semua itu, Pangdam meminta agar mengedepankan praduga tak bersalah, dengan memberikan waktu dan kesempatan kepada pihak TNI dan Polri melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk mengungkap kasus penembakan yang menewaskan 4 orang dan melukai 3 orang nelayan di perairan Pulau Papan, kampung Waigama, Distrik Misool Utara, Kabupaten Raja Ampat ini.
Lebih jauh, dirinya mengatakan selaku Panglima Cenderawasih yang wilayah tugasnya meliputi dua provinsi yakni Papua dan Papua Barat itu, dirinya sangat menyayangkan terjadinya insiden tersebut, “apa pun motifnya sehingga bila nantinya hasil penyelidikan mengarah keanggota TNI maka pihaknya tidak akan segan segan menindak dan menghukum dengan hukuman seberat-beratnya,” tegas Mayjen Zebua.


Sumber : http://bintangpapua.com/

Jumat, 28 Desember 2012

Separatis dan Makar Acaman bagi Rakyat Papua

Kata makar dan separatis bukan hal baru dalam pengalaman Orang Papua. Aksi apapun yang digelar di Papua dalam rangka menuntut keadilan atas hak-hak dasarnya sebagai manusia dan warga negara (kolonial) selalu saja mendapat tantangan dari aparat penegak hukum. Seakan-akan negeri ini bukan penganut paham demokrasi. Kata demokrasi yang seharusnya menciptakan ruang gerak bebas bagi setiap warga negara untuk menyampaikan aspirasi dan mengekspresikan diri ternyata hanyalah sebuah slogan semata. Slogan demokrasi ternyata tak menjamin kebebasan rakyat di Tanah Papua. Setiap kali mereka ingin menyampaikan aspirasinya, menuntut keadilan atas kesadarannya sebagai warga negara yang tak mendapatkan perhatian dari pemerintah, malah mereka mendapat jalan buntu. Kebuntuan ini adalah pengaruh dari pemahaman akan istilah negara Indonesia adalah negara hukum di samping demokrasi itu. Aksi atas dasar demokrasi dibungkam atas dasar penegakan hukum. Lagi-lagi kata makar dan separatis menjadi senjata pamungkas pembungkam suara Orang Papua. Stigma makar dan separatis selalu menjadi ancaman serius bagi Orang Papua yang ingin menyampaikan aspirasinya secara damai kepada NKRI.


Sumber : http://hukum.kompasiana.com

Kasus HKBP Filadelfia Usik Warga Papua

Rakyat Papua semakin meragukan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila melihat lemahnya upaya melindungi umat Kristen. 

Ketua Persatuan Gereja Indonesia (PGI) Phil Erari mengatakan, kondisi yang dialami jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia telah mengusik dan berdampak pada umat Kristen di Papua. 
Pendeta asal Papua ini menyatakan, rakyat Papua semakin meragukan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila melihat lemahnya upaya pemerintah untuk melindungi umat Kristen. 
Terus terang gereja-gereja di Papua solider terhadap nasib orang Kristen di Pulau Jawa. Ini makin membuat kami ragu: apakah Negara ini masih berazaskan Pancasila?” kata Phil, saat jumpa pers, di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (27/12).

Erari menegaskan apabila pemerintah gagal membuktikan Pancasila masih dijunjung sebagai landasan negara, dirinya mendukung Papua agar hengkang dari Republik Indonesia.&nbs
p;

Menilik dari sejarah integrasi Papua ke dalam Indonesia, menurutnya, rakyat Papua telah diiming-imingi janji Pancasila yang notabene melindungi seluruh warganya. 

Rakyat Papua yang sebagian besar beragama Kristen, telah menjadi minoritas setelah berintegrasi dengan Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Maka menurut Erari, jika janji Pemerintah untuk menjamin hak minoritas tidak dapat ditepati, maka rakyat Papua lebih memilih untuk merdeka. 

Erari lebih jauh mengusulkan agar massa HKBP turun ke jalan dan melakukan long march untuk membuktikan eksistensi mereka di Indonesia. 

“Saya mengusulkan kita supaya turun ke jalan, show-off keberadaan kita (umat Kristen) dan bertanya kepada Istana: bisa tidak menjamin perlindungan kita di Negara ini?” pungkasnya. 

Diberitakan sebelumnya, jemaat HKBP Filadelfia kembali mengalami intimidasi dan penolakan oleh sekelompok massa yang melempari telur dan kotoran saat jemaat hendak merayakan ibadah Natal 24 Desember yang lalu. 

Perwakilan dari Gereja HKBP didampingi oleh tim advokasinya telah mendatangi kantor Komnas HAM pagi tadi pukul 10.00 untuk melaporkan peristiwa tersebut.

Sumber : www.beritasatu.com 

Kamis, 27 Desember 2012

KNPB: Kenapa Baru Dituduh Teroris

Jayapura – Komite Nasional Papua Barat (KNPB) mempertanyakan mengapa negara menuduh gerakan politik aktivis KNPB sebagai gerakan teroris.


“Kenapa baru sekarang kami dituduh teroris? Mengapa tidak sejak tahun 1961?,”kata Juru Bicara KNPB Wim Mendlama kepada majalahselangkah.com,(Jumat, 21/12).
“Rakyat Papua bukan baru berjuang. Kami berjuang dengan ideologi Papua merdeka berdasarkan sejarah. Perjuangan kami telah dimulai sejak tahun 1961. Label-label seperti ini biasalah, mulai dari penga
cau, kriminal, dan sekarang teroris,”kata Wim.
Kata dia, sikap militan dan radikal dalam memperjuangkan hak  kemerdekaan bangsa Papua Barat itulah alasannya menuduh KNPB sebagai teroris.  “Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Terorisme itu bukan lahir tahun 2012. Undang-Undang itu lahir tahun 2003 to. Dan, ingat gerakan kami ada jauh sebelum itu,” kata dia.
“Negara mulai bertindak brutal dan semakin ganas menghadapi gerakan perlawanan KNPB. Tapi, kami tetap pada ideologi Papua merdeka. Kami digiring sebagai teroris tetapi kami akan terus bertahan. Kami ini gerakan kemerdekaan,”kata dia tegas.
Lebih lanjut kata dia, KNPB adalah gerakan sipil rakyat Papua. Gerakan bersenjata adalah TPN/OPM di hutan. Label buruk yang dialamatkan tanpa bukti itu dimulai dari peristiwa tertembaknya Mako Tabuni pada 14 Juni oleh Densus 88 Polda Papua. Lalu, katanya, penembakan ketua militan kota KNPB, Hubertus Mabel itu balas demdam atau upaya memenuhi rasa keadialan korban 3 aparat kepolisian di Pirime yang ditembak mati oleh TPN/OPM pimpinan Okiman Wenda,” katanya.
Kata Wim, Hubertus dibunuh dan dikaitkan sebagai pelaku penyerangan polsek Pirime adalah tidak benar. Hubertus berada jauh dari tempat kejadian, yaitu di Kurulu kampung halamannya. Hubertus dimandati untuk melakukan konsolidasi anggota militan KNPB untuk pengamanan internal.
“Dalam perjalanannya Hubertus tidak ada hubungan dengan penyerangan yang dipimpin Okiman Wenda. Huber juga dalam posisi merayakan natal bersama keluarga di Kurima, kampung halamannya,”jelasnya.

Mahasiswa Papua Mengecam Trikora dan Menuntut Pengakuan Kedaulatan

Papua - Tanggal 25 Desember merupakan hari kelahiran Yesus Kristus yang selalu dirayakan oleh seluruh umat nasrani di seluruh penjuru dunia, perayaan serupa juga selalu dirayakan oleh rakyat Papua yang mayoritas penduduknya beragama nasrani. Tiap tahunnya perayaan natal selalu dirayakan secara meriah oleh seluruh umat nasrani di seluruh penjuru dunia sebagai ucapan syukur atas kelahiran Yesus Kristus Sang Juru Slamat.
Namun suka cita Natal nampaknya tidak akan dirasakan oleh rakyat Papua yang hingga saat ini terus menerus dibayang - bayangi oleh teor - teror yang terus menerus dilancarkan oleh militer Indonesia ( TNI/POLRI ). Segalah macam upaya terus dilancarkan oleh militer Indonesia
dengan alasan untuk menjaga keamanan, namun nyatanya tidak demikian, kehadiran militer dalam jumlah yang banyak justru membuat rakyat Papua semakin ketakutan dan mengakibatkan rakyat Papua trauma dan tidak berani untuk beraktivitas seperti biasanya.
Seorang Mama Papua Dikeluarkan
Dari Angkutan Umum Oleh TNI/POLRI
Seperti yang kita ketahui bersama, menjelang natal tahun ini militer Indonesia tanpa bukti dan alasan yang jelas telah melakukan penembakan kepada salah satu aktivis Papua di Wamena dan menahan beberapa aktivis beberapa waktu lalu, peristiwa ini membuat rakyat yang ada didaerah kejadian meninggalkan tempat tinggal mereka dan memilih untuk mengungsi ke daerah - daerah yang aman. Selain itu bebera waktu lalu, Indonesia secara sepihak telah menerapkan UU Terorisme di Papua, hal ini membuat rakyat Papua akan semakin tersudut dan tidak leluasa untuk melakukan aktivitas mereka sehari - hari.
Selain itu, dibeberapa daerah di Papua seperti di Wamena, sendiri telah diberlakukan jam malam dan Penambahan Militer dalam jumlah besar dengan alasan untuk melakukan pengamanan natal dan tahun baru,namun apakah dengan kehadiran militer dalam jumlah besar dan dengan semua kelengkapan militernya akan membuat rakyat Papua merasa aman untuk merayakan natal ??? 
TNI/POLRI di Papua
Jika dilihat dari kejadian - kejadian sebelumnya, dimana militer Indonesia selalu menggunakan kebrutalan mereka dalam melayani rakyat Papua, maka kehadiran militer dalam jumlah besar dan dengan peralatan militer yang lengkap justru akan membuat rakyat Papua ketakutan dan tidak akan merasakan suka cita natal seperti yang dirasakan oleh umat nasrani pada umumnya.[ KRBNews]

Sumber : www.karobanews.com

Semua Komponen Masyarakat Diharapkan Dukung Natal Aman dan Damai

JAYAPURA—Semua komponen masyarakat diharapkan mendukung pelaksanaan pengamanan Natal dan Tahun  Baru sehingga tercipta suasana aman, nyaman dan damai.
Demikian diutarakan Kapolri Jenderal Pol  Drs. Timur Pradopo  yang  dibacakan Kapolda Papua Irjen Pol. Drs. M. Tito Karnavian, MA yang diikuti oleh aparat keamanan baik unsur TNI/Polri, SAR dan Basarnas serta Mitra Polri lainnya  di Jayapura  ketika  Apel  Gelar Pasukan Operasi  Lilin 2013 Pengamanan  Natal dan  Tahun Baru di Lapangan Karang  PTC, Entrop, Jumat (21/12) kemarin.
Menurut Kapolri,  hari Natal adalah hari raya besar bagi  umat Kristiani yang dilalui dengan berbagai bentuk peribadatan dan perayaan.   Selanjutnya juga Tahun Baru akan diisi dengan berbagai maca
m hiburan dan mobilititas massa yang terkonsentrasi pada titik-titik tertentu.
“Momen penting kedua agenda ini berlangsung bersamaan waktunya dengan liburan sekolah oleh karena itu dimungkinkan akan lebih meningkatnya mobilitas dan intensitas kegiatan terutama di tempat-tempat hiburan, kota-kota, jalan-jalan dan lain-lain,” ujarnya.
Situasi ini tentu akan menyimpan potensi gangguan dan kerawanan. Sesuai analisa pelaksanaan Operasi Lilin di seluruh wilayah Indonesia selama dua tahun terakhir, komparasi data menunjukkan trend peningkatan yang cukup signifikan terutama kasus-kasus perkelahian, penganiayaan, terorisme, pencurian dengan kekerasan, pencurian kendaraan bermotor, penembakan dan lain-lain.

Sumber http://bintangpapua.com/

Puting Beliung Terjang Sowek, Puluhan Rumah Rusak

SUPIORI—Masyarakat Supiori yang mendiami kampung Sowek, Distrik Kepulauan Aruri, Kabupaten Supiori, terpaksa merayakan Hari Raya Natal 25 Desember 2012 di tenda-tenda darurat dan rumah sanak keluarga menyusul badai puting beliung Sabtu (22/12) kemarin yang memporak-porandakan rumah serta fasilitas umum lainnya.
Selain merusak rumah warga, badai juga merusak sistem jaringan listrik, air bersih serta jembatan yang merupakan satu-satunya akses didalam kampung. Dan akibat badai ini kerugian ditaksir mencapai Rp.1Miliar.
Bupati Supiori Fredrik Menufandu SH MH MM, saat meninjau lokasi bencana sehari setelah kejadian mengatakan akan secepatnya menangani kerusakan yang terjadi namun karena ini membutuhkan biaya yang sangat besar harus melalui kordinasi dengan DPRD Kabupaten Supiori.
Namun sebagai langkah awal penanganan bencana Bupati Fred meminta Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsostek) Kabupaten Supiori serta Pemerintahan Kampung segera mendata semua kerugian yang diakibatkan bencana tersebut serta melakukan perbaikan darurat.
Dalam kunjungannya Bupati Fred menyempatkan berdialog dengan masyarakat di tempat penampungan, serta melihat dari dekat kondisi rumah-rumah warga yang terkena bencana.

Sumber http://bintangpapua.com/

Jeep Art Papua dan Polda Tanam 1.500 Manggrowe di Pantai Skouw Mabo

JAYAPURA— Jeep Art  Papua Polda Papua  bekerjasama  Polda Papua, Forum Peduli Port Numbay Green  dan masyarakat setempat  menanam  1.500  anak  Manggrowe untuk  mencegah abrasi atau pengikisan air laut  di Kampung  Skouw Mambo, Distrik  Muara Tami, Kota Jayapura, Sabtu (22/12) lalu.  
Kapolda Papua Irj
en (Pol)  Drs.  M. Tito Karnavian, MA  mengatakan, kerjasama  penananam anakan Manggrowe  di Pantai  Kampung  Skouw  Mabo ini merupakan  kepedulian  terhadap lingkungan sekaligus salah-satu  bentuk  kemitraan antara      Polri, Jeep Art   Papua  serta masyarakat.  
“Kami  cukup prihatin dengan kondisi abrasi  pantai di Kampung  Skouw Mabo, makanya kita bersama-sama  menanam pohon Magrowe dalam  rangka mencegah abrasi,” imbuhnya.
Kata  Kapolda,   walaupun  abrasi  adalah  peristiwa  alam atau  fenomena alam, tapi masyarakat diminta  menjaga  ekosistim pantai. “Manggowe dipertahankan jangan  sampai dipotong semua karena  manggrowe adalah salah-satu  perlindungan alami  yang sangat efektif untuk mencegah abrasi,” tukasnya. 
Karenanya, Kapolda  mengharapkan kegiatan-kegiatan seperti  ini diupayakan terus  berlanjut.  Selain masalah lingkungan  salah-satu fokus  adalah  kampanye  tentang peduli  menekan minuman keras (miras), HIV/AIDS dan lain-lain.

 Sumbe http://bintangpapua.com/

Penembakan Nelayan di Raja Ampat Pelakunya Diduga Oknum TNI

SORONG - Pelaku penembakan terhadap 7 nelayan yang terjadi di sekitar Pulau Papan Distrik Misol Perairan Raja Ampat Papua Barat, diduga adalah oknum TNI. Meski belum diketahui pasti motif penembakan, namun seorang oknum TNI saat ini telah di periksa oleh Polisi Militer (POM) di Puncak Rafidin.
Dandim 1704/Sorong, Letkol (Inf) Rachmad Zulkarnain usai pertemuan besama KKST, Selasa (25/12) lalu, tidak memberikan komentar lebih, namun ia tidak membantah ada seorang oknum TNI yang saat ini telah di periksa oleh Polisi Militer (POM) di Puncak Rafidin.
Dirinya hanya mengatakan, TNI/Polri masih melakukan beberapa proses untuk mengetahui siapa pelaku dan juga motif penembakan tersebut. Dan meminta waktu, agar proses yang sedang dilakukan dapat berjalan hingga dapat memastikan siapa tersangka dan apa motifnya.
“Saya minta biarkan proses ini berjalan dulu, hingga benar-benar ada yang ditetapkan sebagai tersangka,” kata Zulkarnaen.
Ditempat yang terpisah juru bicara Kodam XVII Cenderawasih Letkol Jansen Simanjutak Kamis (27/12) kemarin, mengakui ada anggota TNI yang saat ini sedang diperiksa secara intensif oleh POM.

Sumber http://bintangpapua.com/